Sabtu, 24 September 2011

Ja’far Bin Abi Thalib Dan Tekadnya Pertahankan Islam

Abu Hurairah bercerita tentang Ja’far. Ia berkata, “Orang yang paling baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja’far bin Abi Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak-keraknya.”

Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah, pada awal tahun kedelapan hijriah Rasululalh saw. menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Rum di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan.

Rasululalh saw. bersabda, “Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan, apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka. ”

Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordan, mereka mendapati tentara Rum telah siap menyambut kedatangan mereka dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100 ribu milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.

Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syuhada ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.

Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya yang kemerah-merahan, lalu dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak dapat dimanfaatkan musuh selama-lamanya. Kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya. Sementara dia bersenandung menyanyikan sajak nan indah

Wahai … surga nan nikmat sudah mendekat

Minuman segar, tercium harum

Tetapi engkau Rum … Rum….

Menghampiri siksa

Di malam gelap gulita, jauh dari keluarga

Tugasku … menggempurmu ..

Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegannya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abi Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syuhada’, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.

Rasulullah saw. sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja’far bin Abi Thalib anak pamannya. Didapatinya Asma’, isteri Ja’far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.

Asma’ bercerita, “Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami.

Beliau berkata, “Mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.”

Maka kupanggil mereka semua dan kusuruh menemui Rasulullah saw. Anak-anak berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada beliau. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka. Saya bertanya, “Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?”

Beliau menjawab, “Ya …, mereka telah syahid hari ini.” Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka. Rasulullah berucap sambil menyeka air matanya,

“Wahai Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya … wahai Allah, gantilah Ja’far bagi isterinya.” Kemudian kata beliau selanjutnya, “Aku melihat sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya.” Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar