Kamis, 22 September 2011

Kajian Umum Asas Hukum Acara Perdata

A. Pengertian Asas Hukum Acara Perdata

Azas hukum acara perdata terdiri dari empat kata yang mempunyai arti yang berbeda, namun mempunyai dua kandungan makna, azas dan hukum acara perdata. Kedua makna kandungan ini saling terkait atau tidak bisa dipisahkan dengan proses beracara di depan pengadilan, khususnya proses pemeriksaan perkara oleh Hakim, Karena hakim atau Majlis Hakim yang menerapkan memeriksa, mengadili, memutus perkara diantara kedua belah yang bersengketa di depan sidang. Oleh karenanya, penulis sengaja memisah dua kandungan ini agar ditemukan makna yang jelas.

Kata lain untuk menyebut azas adalah dasar, Fondamen, pangkal tolak, landasan, dan sendi-sendi.[1] Dalam kamus besar bahasa Indonesia azas diartikan suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[2] Yahya Harahap dalam bukunya[3] mengatakan azas adalah fondamentum suatu peradilan, ia merupakan acuan umum atau pedoman umum yang harus diterapkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan perkara, sehingga putusan pengadilan adil dan para pihak menjalankan dengan suka rela.

Karena ia adalah azas umum sihingga dapat dikatakan juga sebagai karakter yang melekat pada keseluruhan pasal-pasal, sehingga pendekatan penafsiran, penerapan dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam azas umum itu sendiri.[4]

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya mencamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain hukum acara perdata peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materil.[5]

Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, mengemukakan bahwa hukum acara adalah rangkaian perturan-peraturan yang cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaiamana pengadilan harus bgentindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

Sedangkan Prof. DR. Abdul Manan berpendapat bahwa hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penguggat, bagaimana para hakim bertindak dan bagaimana hakim memutuskan perkara dan melaksanakan putusan .[6]

Jadi, asas hukum acara perdata adalah pangkal tolak yang harus diterapkan oleh pengadilan, atau pendangan pengadilan atau Hakim dalam setiap menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara para pihak di Pengadilan.

B. Pengertian Asas Audio Et Alterampartem (Mendenganrkan Kedua Belah Pihak)

Audio berasal dari bahasa Belanda artinya mendengarkan, sedangkan Et Alterampartem artinya pihak-pihak yang berperkara atau kedua belah pihak yang bersengketa. azas ini menunjuk pada proses sidang di Pengadilan dimana majlis Hakim mendengarkan dua orang bersengketa dalam membela hak masing-masing. Dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain para pihak yang berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil.

Pasal 5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mendengar kedua belah pihak yang berperkara artinya hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai pihak benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.

Makna yang dekat dengan azas mendengarkan kedua belah pihak adalah equality yang berarti persamaan hak, bila dikaitkan dengan fungsi peradilan berarti setiap orang yang datang di hadapan sidang pengadilan adalah “sama hak dan kedudukannya”, dengan kata lain sama hak dan kedudukannya di depan hukum.[7]

Menurut Yahya Harahap ada tiga acuan dalam menerapakan persamaan hak dan kedudukan dalam perses peradilan, pertama; persmaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan, kedua; hak perlindungan yang sama oleh hukum, dan ketiga; mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum.

Ketiga patokan ini adalah makna yang terkandung dalam pasal yang berbunyi “tidak membeda-bedakan orang” di muka pengadilan, yaitu hakim menempatkan para pihak yang berperkara dalam persamaan hak dan derajat dalam setiap tingkat pemeriksaan, memeberikan para pihak hak perlindungan hukum yang sama salama proses pemeriksaan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, dan melayani mereka dengan hak perlakuan yang sama menurut hukum sejak mulai sampai akhir proses pemeriksaan.

Ketiga acuan persamaan hak ini, merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan tidak bisa diterapkan secara parsial, menerapkan secara parsial pasti akan mewujudkan penerapan hak persamaan yang pincang.

Dalam perkara perdana, kedudukan hukum adalah sebagai penengah di antara pihak yang berperkara, ia perlu memeriksa (mendengarkan) dengan teliti terhadap pihak-pihak yang berselisih itu. Itulah sebabnya pihak-pihak pada prinsipnya harus semua hadir di muka sidang. Berdasarkan prinsip ini maka di dalam HIR misalnya, diperkenankan memanggil yang kedua kali (dalam sidang pertama), sebelum ia memutus verstek atau digugurkan.

Bagi peradilan Islam, prinsip semua harus hadir itu, dapat dipahami dari Hadits Rasulullah Saw.

Terjemahnya :

“Dari Ali Bin Abi Thalib, ia berkata Rasulullah Saw. telah bersabda : “Apabila 2 pihak meminta kepadamu keadilan maka janganlah engkau memutus hanya dengan mendengarkan keterangan dari satu pihak saja sehingga engkau mendengarkan keterangan dari pihak lainnya. Dengan demikian engkau akan mengetahui bagaimana seharusnya memutus. Ali berkata, tetaplah saya sebagai hakim sesudahku. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Tarmidzy dan dihasankan dan dikuatkan oleh Ibn Al-Madany dan disahihkan oleh Ibn Hibban).

Karena pihak-pihak kemungkinan ada yang tidak hadir dan berbagai hal dan keadaannya selalu bahkan mungkin ada yang membangkang, maka demi kepastian hukum, cara-cara pemanggilan sidang diatur kongkrit sehingga terjadi penyimpangan dari prinsip, perkara tetap dapat diselesaikan.

Dalam berbagai kitab Fiqh Islam, memutus dengan verstek diperkenankan dan putusan verstek itu disebut Al-Qada’u ala al-gaib. Kebolehan itu didasarkan kepada Sabda Rasulullah Saw. Riwayat Bukhory dan Muslim dari ‘Aisyah Ra. yang berbunyi :

Terjemahnya :

Dari ‘Aisyah, Ia berkata : Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan datang kepada Rasulullah Saw. lalu berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir, Ia tidak memberi kepada saya nafkah yang mencukupi bagi diri saya dan anak saya, kecuali dari apa yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa yang demikian itu? Maka Sabda Rasulullah : Ambillah dari hartanya apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang patut.

Putusan Rasulullah kepada Hindun ini tanpa dihadiri oleh Abu Sufyan ketika itu di perantauan, karenanya dijadikan landasan bolehnya memutus tanpa dihadiri oleh tergugat tersebut (verstek).

C. Macam-macam Asas Hukum Acara Perdata

Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan kerugian kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan hak itu masing-masing itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa hak dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Ketentuan-ketentuan seperti “siapa yang mengambil barang milik orang lain dengan niat untuk dimiliki secara melawan hukum…siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut”. Dalam bukunya Sudikno Martokusumo[8] “pedoman atau kaidah yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan setiap orang”.

Untuk menerapkan hukum acara dengan baik, maka perlu diketahui azas-azasnya. Azas-azas tersebut adalah :

1. Hakim bersifat menungggu

Azas ini mengandung arti, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkpentingan. Jadi apakah ada perkara atau tuntutan hak akan diajukan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim (Wo kein klager ist, ist kein richter, nemo judex sine actor). Jadi, yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya.[9] Dasarnya adalah HIR pasal 118 dan R.Bg pasal 142.

HIR pasal 118

Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya… [10]

R.Bg pasal 142

Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang peradilan negeri dilakukan oleh penghgugat atau oleh seseorang kuasantya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan …[11]

1. Hakim bersifat pasif

Hakim dalam memeriksa perkara serdikap pasif ,artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya untuk diperiksa pada azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Atau dengan kata lain Hakim tidak boleh menentukan luas dari pokok perkara, Hakim tidak boleh menambah atau mengurangi pokok gugatan para pihak. Hakim hanya diperbolehkan aktif dalam hal-hal tertntu, yaitu:

1. Memimpin sidang

Dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan Hakim bertindak memimpin jalannya persidangan. Artinya Hakim yang mengatur dan mengarah tata tertib pemeriksaan, juga Hakim berwenang menentukan hukum yang diterapkan serta ia yang memutus perkara yang disengketakan.[12] Sifat kedudukan Hakim yang aktif sesuai dengan sistim yang dianut HIR dan R.Bg, antara lain;

1. pemeriksaan persidangan secara langsung
2. proses beracara secara lisan
3. Mendamaikan kedua belah pihak

Azas mendamaikan para pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntutan ajaran moral. Sekedar penegasan bahwa usaha mendamaikan sedapat mungkin diperankan Hakim secara aktif, sebab bagaimana pun adilnya suatu putusan namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian.[13] Apalagi dalam perkara perceraian, usaha mendamaikan merupakan beban yang diwajibkan sehingga sifatnya imperatif artinya hakim harus berupaya secara optimal untuk bagaimana perceraian antara kedua belah pihak tidak terjadi.[14]

1. Hakim aktif memberi petunjuk kepada para pihak yang berperkara tentang upaya hukum dalam suatu putusan

Banyak di antara para pencari keadilan yang tidak mampu dalam segala hal. Awam dalam hukum mengakibatkan ia harus bergulat sendiri di hadapan sidang, menghadapi para pencari keadilan semacam ini sangat memerlukan bantuan dan nasehat pengadilan. Mereka buta bagaimana cara yang tepat mempergunakan hak melakukan upaya banding atau kasasi dan tidak mampu merumuskan alas an-alasan memori banding dan memori kasasi. Disinilah peran hakim untuk memberi petunjuk dan upaya-upaya hukum kepada para pihak yang berperkara tentang upaya hukum dalam suatu putusan.[15]

3. Ultra petita partium

Artinya Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu yang tidak dituntut atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada yang ditutuntut oleh penggugat. tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan yang mengurangi isi dari tuntutan gugatan. Landasanya adalah pasal 178 ayat 3 HIR, dan pasal 189 ayat 3 R.Bg..

Pasal 178 ayat 3 HIR

“Ia (Hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan daripada yang digugat”.[16]

Pasal 189 ayat 3 R.Bg.

“Hakim dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberiklan lebih dari yang dimohon”. [17]

4. Persidangan terbuka untuk umum (Openbaar)

Yang dimaksud dengan persidangan terbuka untuk umum adalah bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara. Tujuan azas ini adalah:

1. Untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, yakni dengan meletakan peradilan dibawah penguasaan umum
2. Untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia dalam bidang peradilan
3. Untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil kepada masyarakat.

Azas ini dijumpai dalam pasal 17 dan 18 UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 179 ayat (1), 317 HIR dan pasal 190 R.Bg..[18] Kecuali dalam perkara perceraiaan. Akan tetapi walaupun pemeriksaan suatu perkara dilakukan tertutup untuk umum dalam perkara perceraian, namun putusannya harus tetap dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan yang diucapakan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan. Meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, akan tetapi di dalanm berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan yang telah dijatuhkan tetap sah.

5. Mendengarkan kedua belah pihak

Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain para pihak yang berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil.

Pasal 5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mendengar kedua belah pihak yang berperkara dikenal dengan azas audi et alterampartem artinya Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.[19]

Selain pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, dasar hukum yang lainnya dapat ditemukan dalam pasal 121 ayat (2), 132 a, HIR dan pasal 145 ayat (2), 157 R.Bg.

6. Putusan harus disertai alasan-alasan

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadili. Karena dengan adanya alasan-alsan maka putusan mempunyai wibawa, dapat dipertanggung jawabkan dan bernilai objektif. Menurut yurisprudensi suatu putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan pada tingkat kasasi untuk dibatalkannya putusan tersebut.

7. Berperkara dikenakan biaya

Untuk berperkara pada azasnya dikenakan biaya yang meliputi;

1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai
2. Biaya saksi, saksi ahli, juru bahasa termasuk biaya sumpah
3. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
4. Biaya pemanggilan para pihak yang berperkara
5. Biaya pelaksanaan putusan, dan sebagainya.

Pengecualian dari azas ini adalah bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaraan biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu dari kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Camat yang membawahi domisili yang bersangkutan.

Dasar hukumnya adalah pasal 237 HIR “Orang-orang yang demikian, yang sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara, akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya”.[20], demikian pula yang terdapat dalam pasal 273 R.Bg. “penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya”.[21]

8. Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa

Artinya, setiap kepala putusan peradilan di Indonesia harus memuat kata-kata ini, yakni dengan menyandarkan “demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”. Tidak dicantumkan kata ini, maka putusan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali, dalam arti putusan tersebut tidak dapat dieksikusi dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (daya memaksa). Dasarnya adalah UU No. 14 Tahun 1970.

9. Azas sederhana, cepat dan biaya ringan

Yang dimaksud dengan Azas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah:

1. Sederhana, acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Atau dengan kata lain suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri.
2. Cepat, menunjuk kepada jalannya peradilan dalam pemeriksaan dimuka sidang, cepat penyelesaian berita acaranya sampai penandatanganan putusan dan pelaksanaan putusannya itu.
3. Biaya ringan, biaya perkara pada pengadilan dapat dijangkau dan dipikul oleh masyarakat pencari keadilan.

[1]Eddy Yusuf Priyanto dkk, Pendidikan Pancasila Perguruan Tinggi (Cet. III; Makassar: Tiem Dosen Pancasila Universitas Hasanuddin, 2003), h. 8.


[2]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 52.

[3]Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. II; Jakarta: PT Garuda Metro Politan Press, 1993), h. 37.

[4]Lihat ibid

[5]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata (Cet. II; Yogyakarta: Leberty Yogyakarta, 1999), h. 2.

[6]Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Cet. III; Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 2.

[7]Yahya Harahap, op. cit., h. 72.

[8]Sudikno Mertokusumo, op.cit., 1.

[9]Ibid., h. 10

[10]Rompun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 241.

[11]Ibid., h. 191

[12]Yahya Harahap, op.cit., h. 74-75.

[13]Yahya Harahap, loc. cit., h. 50-51.

[14]Ibid

[15]Yahya Harahap, Ibid

[16]Ropaun Rambe, op. cit., h. 257

[17]Ropaun Rambe, ibid., h. 207

[18]Lihat pasal 179 ayat (1), 317 HIR dan 190 R.Bg

[19]Sudikno Mertokusumo, op. cit., h.13-14.

[20]Ropaun Rambe, op. cit., h. 274-275

[21]Loc. Cit

Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. :mrgreen:

Salam …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar