Kamis, 22 September 2011

Khutbah Idul Fitri (Bag. 1)

Khutbah Idul Fitri. Nah, setelah kemarin saya berbagi tentang ceramah ramadhan yang dapat disampaikan selama ramadhan, saatnya berbagi tentang khutbah idul fitri.
Khutbah Idul Fitri

Jama’ah ‘Id rahimakumullah, pada pagi hari ini, umat Islam di seluruh belahan dunia merayakan kemenangan, merasa gembira dan damai.. Mereka keluar dari rumah masing-masing menuju tempat pelaksanaan salat ‘Id dengan perasaan suka cita, riang dan gembira setelah selama satu bulan melatih dan menempa diri mengendalikan hawa nafsunya dengan melaksanakan ibadah puasa sebagai latihan jasmani dan rohani dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt.. Umat Islam menyambut dan merayakan kemenangan hari Raya Idul Fitri dengan meneriakkan kalimah-¯ayyibah, takbir, tahmid dan tahlil.

Setelah sebulan penuh hidup dalam suasana Ramadhan yang penuh dengan rahmat dan magfirah, umat Islam akhirnya pada hari ini kembali kepada fitrahnya, bersih dan suci dari segala noda dan dosa, laksana seorang bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya. Nabi bersabda:

‘Bulan Rama«ân adalah bulan yang di dalamnya difar«ukan puasa dan disunatkan bagimu qiyâm al-layl, maka barang siapa yang melaksanakan puasa dan qiyâm al-layl tersebut atas dasar iman, maka ia akan keluar (di hari ‘Id) dalam keadaan bersih dari dosa sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh ibunya.’

Marilah kita membuka mata, telinga dan hati kita, menyaksikan salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan Allah, sekaligus satu perumpamaan yang sangat besar. Marilah kita melihat bagaimana umat Islam yang telah kembali kepada fitrahnya menuju ke tempat dilaksanakannya Salat ‘Id seraya mengingat akan suatu hari di mana semua manusia sejak Nabi Adam as. hingga manusia yang terakhir diciptakan Allah akan dikumpulkan pada suatu hari yang oleh Allah di dalam al-Qur’ân disebut yawmun lâ yanfa’ mâl walâ ban­n, illa man atâ Allah bi qalb salîm (hari yang ketika harta dan anak-anak tidak memberi manfaat, kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang tenang). Kita semua sidah jama’ah ‘Id mendatangi tempat salat ‘Id tidak satu pun yang memiliki persamaan. Kita datang dari rumah menuju ke tempat Salat ‘Id beraneka ragam cara dan bentuk. Ada yang datang berkendaraan mobil motor, sepeda, ada juga yang berjalan kaki; ada yang datang beriringan dengan anak-istrinya, bercanda dan bersenda gurau sepanjang perjalanannya, ada juga yang hanya tersenyum simpul, berdiam diri, namun ada juga yang hanya berdiam diri sedih; ada yang berpakaian serba baru nan mewah lengkap dengan segala aksesorisnya namun ada juga berpakaian yang sederhana bahkan yang sangat sederhana. Semua itu perumpamaan bagaimana ketika umat manusia datang menghadap Allah berkumpul di Padang Mahsyar, menunggu peradilan dari Qâdi Rabb al-Jalîl. Khutbah Idul Fitri

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar

Jama’ah ‘Id rahimakumullah, Ibadah puasa yang telah kita laksanakan merupakan suatu upaya pendidikan dan pelatihan jiwa untuk senantiasa bersifat jujur dan sabar. kedua sifat ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita, baik sebagai pribadi maupun dalam hidup bermasyarakat. Mata dan telinga kita setiap saat melihat adanya penyimpangan dalam kehidupan yang semuanya dilakukan oleh pribadi-pribadi yang tidak jujur, aparat yang tidak jujur, bahkan oleh pejabat negara yang tidak jujur; selama kita hidup dalam ketidakjujuran, maka kita jangan berharap akan terciptanya suatu kehidupan masyarakat yang adil. Kejujuran adalah musuh kita, musuh manusia, musuh kemanusiaan; tidak ada seorang pun yang menyukai ketidakjujuran, bahkan oleh seorang yang tidak jujur sekalipun. Nabi berpesan:

Peliharalah sifat jujur itu, sebab kejujuran akan mengantarkan pelakunya ke surga.

Dalam hadis lain disebutkan :
Bukan umatku orang yang sering melakukan ketidakjujuran

Lebih jauh, puasa merupakan sarana untuk mengendalikan hawa nafsu, bukan melawan hawa nafsu atau menghilangkan sama sekali hawa nafsu itu dari dalam diri kita, sebab selama hayat masih di kandung badan, selama itu hawa nafsu berada dalam diri kita. Pengendalian hawa nafsu merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab apabila kita yang dikendalikan hawa nafsu maka pada saat itu kita berada pada posisi yang inferior, lebih rendah derajat kita daripada binatang. Hanya orang-orang mampu mengendalikan hawa nafsunya yang akan memperoleh kenikmatan surgawi yang telah dijanjikan oleh Tuhan.

Pengendalian hawa nafsu bisa juga diartikan sebagai upaya menaikkan derajat nafsu yang menguasai diri kita, dari tingkatan nafsu yang paling rendah kepada tingkat nafsu yang paling tinggi. Apabila kita meneliti ayat-ayat al-Qur’ân, maka dikemukakan bahwa setidaknya pada setiap diri manusia terdapat empat tingkatan nafsu. Baik-jahatnya seseorang, saleh-salahnya seseorang, atau sesat dan suksesnya seseorang tergantung pada kecenderungannya pada tingkatan nafsu mana yang ia mampu kendalikan. Khutbah Idul Fitri

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd..

Jama’ah ‘Id rahimakumullah, nafsu yang pertama disebutkan oleh al-Qur’ân yang terdapat pada setiap diri manusia al-nafs al-zakîyah, nafsu yang suci bersih). Nafsu jenis ini terdapat pada diri setiap manusia yang baru lahir. Setiap manusia yang baru lahir memiliki kecenderungan jiwa yang bersih, memiliki kecenderungan pada hal-hal yang bersifat baik.

Dalam al-Qur’ân di sebutkan :

Pemilik jiwa yang bersih inilah yang akan memperoleh keberuntungan, sebaliknya org yang memiliki jiwa yang kotor akan memperoleh kesengsaraan.

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd..

Nafsu yang kedua ialah al-nafs al-ammârah bi al-sûi, nafsu yang cenderung pada perbuatan dosa dan penyimpangan, yang identik dengan nafsu binatang. Nafsu ini selalu menganjurkan untuk berbuat kejahatan. Dalam al-Qur’ân disebutkan : (Yusuf: 53)

Nafsu ammârah akan menggiring manusia kepada kehinaan, mendorong manusia melakukan maksiat, dan selalu merasa mudah untuk berbuat dosa. Ketika seseorang melakukan suatu kemaksiatan, maka al-nafsu al-ammârah akan kembali mendorongnya untuk terus melakukannya. Selanjutnya al-nafsu al-ammârah akan menjadikan perbuatan maksiat tersebut sebagai suatu yang dicintai oleh pelakunya, sehingga pelakunya memandangnya sebagai suatu hal yang biasa dan wajar. Pada saat itulah perbuatan maksiat akan menjadi wataknya.

Nafsu ammârah apabila mengendalikan seorang manusia, maka manusia tersebut tidak akan pernah merasa puas; seorang laki-laki yang dikuasai oleh nafsu seksualnya tidak akan pernah merasa puas hanya dengan seorang wanita; seorang pengusaha yang dikuasai oleh al-nafsu al-ammârah tidak akan merasa puas meskipun semua isi dunia telah menjadi miliknya; seorang penguasa atau pejabat yang dikuasai oleh al-nafsu al-ammârah tidak akan puas meskipun ia telah menguasai seluruh permukaan bumi. Khutbah Idul Fitri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar