Kamis, 22 September 2011

Pesantren sebagai Basis Penyebaran Ajaran Agama Islam

A. Pengertian Pesantren

1. Menurut Bahasa

Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata yaitu “ Sa” dan “Tra” San yang berarti orang yang berperilaku yang baik, an tra berarti seseorang yang berperilaku yang baik dan tra berarti suka menolong.[1]

Selanjutnya kata pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.[2] Begitu pula pesantren sebuah kompleks yang mana umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya, dalam kompleks itu berdiri beberapa bangunan rumah kediaman pengasuh. Dapat pula dikatakan pesantren adalah kata santri yaitu orang yang belajar agama Islam.[3]

1. 2. Menurut Istilah

Bila mendengar makna pesantren itu sendiri, maka orientasi secara spontanitas tertuju kepada lembaga pendidikan Islam yang diasuh oleh para kyai atau ulama dengan mengutamakan pendidikan agama dibanding dengan pendidikan umum lainnya.

Dalam hubungan dengan pondok pesantren, Drs. Abu Ahmadi memberikan definisi sebagai berikut:

“Pesantren adalah suatu sekolah bersama untuk mempelajari Ilmu agama, kadang-kadang lembaga demikian ini mencakup ruang gerak yang luas sekali dan mata pelajaran yang dapat diberikan dan meliputi hadits, ilmu kalam, fiqhi dan ilmu tasawuf.”[4]

Menurut fungsinya, pesantren di samping sebagai pendidikan Islam, sekaligus merupakan penolong bagi masyarakat dan tetap mendapat kepercayaan di mata masyarakat. Jadi pesantren yang dimaksud dalam hal ini suatu lembaga pendidikan Islam yang didirikan di tengah-tengah masyarakat, yang di dalamnya terdiri dari pengasuh atau pendidik, santri, alat-alat pendidikan dan pengajaran serta tujuan yang akan dicapai.

Pesantren adalah asrama dan tempat para santri belajar ilmu agama juga ilmu yang bersifat umum dan di didik untuk bagaimana hidup mandiri.[5]

Hal ini adalah merupakan faktor yang sangat penting utamanya dalam menanggulangi kemerosotan akhlak muda mudi, yang mana disebabkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, bukan hanya berpusat di kota-kota besar akan tetapi justru dapat merangkul sebagian besar pelosok pedesaan.

Melihat hal yang ditimbulkan, maka perlu adanya usaha dan perhatian yang serius dari hal ini harus diakui bahwa teknologi itu memang mempunyai banyak segi positif bagi kehidupan umat manusia akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwa nampak negatifnya, khususnya dalam bidang perkembangan mental spiritual dapat juga ditimbulkan. Satu contoh dengan lajunya perkembangan teknologi sekarang ini, maka kebudayaan Barat masuk ke Indonesia berusaha untuk merubah dan menggeser nilai-nilai ajaran Islam yang sejak lama dipelihara dengan baik.

Untuk menanggulangi dampak negatif berbagai pihak utamanya kepada pemerintah dan tokoh-tokoh agama saling kerjasama dalam membina dan mendidik umat manusia dengan jalan memberikan pengetahuan yang dapat menjadi penangkal bagi lajunya kebudayaan barat yang setiap saat datang untuk mengancam ketentraman Islam yaitu berusaha untuk ikut dengan budaya yang mereka anut.

Dalam hal ini Drs. M. Dawam Raharjo, menjelaskan dalam Bukunya “Pesantren dan Pembaharuan” sebagai Berikut:

“Pondok pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin mempunyai fungsi pemeliharaan, pengembangan, penyiaran dan pelestarian Islam, dari segi kemasyarakatan, ia menjalankan pemeliharaan dan pendidikan mental.”[6]

Bertolak dari uraian tersebut di atas, maka dapatlah diketahui bahwa dengan berdirinya pondok pesantren dari kota sampai ke pelosok-pelosok desa, telah dirasakan oleh masyarakat seperti adanya bakti sosial bersama dengan masyarakat maupun dalam bidang keagamaan yaitu dengan adanya pengajian-pengajian atau ceramah-ceramah yang dilaksanakan baik terhadap masyarakat umum maupun terhadap santri itu sendiri.

Dalam istilah pesantren juga disebut sebuah kehidupan yang unik karena di dalam pesantren selain belajar santri juga di didik untuk hidup mandiri, sebagaimana yang dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya, dalam kompleks itu berdiri dari beberapa buah bangunan, rumah kediaman pengasuh yang disebut Kyai, dan dimana di dalamnya terdapat sebuah surau atau mesjid dan asrama tempat mondok bagi santri.[7]

Corak tersendiri dalam pesantren dapat dilihat juga dari struktur pengajaran yang diberikan, dari sistematika pengajaran, dijumpai pelajaran yang berulang dari tingkat ke tingkat, tanpa melihat kesudahannya. Persoalan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa yang diulang-ulang selama jangka waktu yang bertahun-tahun.”[8]

Dari pengertian tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pesantren adalah merupakan wadah yang mana di dalamnya terdapat santri yang dapat diajar dan belajar dengan berbagai ilmu agama. Demikian pula sebagai tempat untuk menyiapkan kader-kader da’i yang profesional dibidang penyiaran Islam.

B. Metode Penyiaran Islam

Pesantren ‘’Manahilil Ulum’’ DDI Kaballangan dalam penyiaran Islam ialah bagaimana melihat lingkungan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat dan bertindak sesuai apa yang telah digariskan oleh agama.

Penyiaran adalah salah satu dari bagian dakwah.[9] Sehingga penyiaran Islam mempunyai arti yang cukup penting bagi umat Islam untuk disampaikan kepada keluarga, lingkungan masyarakat dan kepada seluruh umat manusia.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, maka diperlukan adanya penyiaran Islam yang baik dan berkesinambungan serta usaha-usaha yang lain yang berhubungan dengan penyiaran Islam yang dapat mendorong keberhasilan dalam berdakwah.

Melalui penyiaran Islam diharapkan terwujudnya pribadi-pribadi yang nantinya dapat menyebarkan Islam kepada keluarga, lingkungan masyarakat dan seluruh umat manusia, karena dengan aktivitas seperti itulah secara sungguh-sungguh sehingga ilmu agama dapat tersebar ke seluruh pelosok dunia dan dapat berdiri dengan kokoh sekaligus menjadi pedoman hidup bagi manusia.

Sebagai orang mukmin hendaknya mempunyai dorongan dan mau bekerja untuk mewujudkan syiar Islam , mengembangkan ajaran agama Islam, apabila, mereka melihat kemungkaran atau penyimpangan dalam Islam, segera mereka mengembalikannya kepada jalan yang benar. Allah Berfirman dalam QS. Ali Imran (3). 110 sebagai berikut :

Terjemahnya :

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[10]

Seruan kepada jalan yang baik dan mencegah perbuatan yang mungkar adalah suatu tugas yang sangat suci bagi umat Islam yang harus dilaksanakan dan disukseskan, namun dalam penyampaian tidaklah hanya sekedar menawarkan suatu metode begitu saja dengan ancaman siksaan neraka, dan kelebihan bagi orang-orang yang masuk dalam surga akan tetapi lebih dari itu membutuhkan metodologi perencanaan komunikasi dakwah dengan melihat dan menimbang semua indikator sosiokultural dari sasaran dakwah tersebut.[11]

Penyiaran Islam adalah merupakan pekerjaan yang bersifat propaganda kepada orang lain. Propaganda dapat diterima orang lain, apabila yang membawakan dakwah berlaku baik dan ramah serta ringan tangan untuk melayani sasarannya. Sebaliknya jika mempunyai kepribadian yang membosankan dan tidak menarik dalam penyampaiannya maka kemungkinan dakwahnya dapat berhasil.

Dalam menyiarkan Islam sangat diperlukan adanya kesabaran, rendah hati dan tidak sombong, sabar dalam menyampaikan dakwah bukanlah berarti mengalah di hadapan masyarakat, akan tetapi kesederhanaan, dan tidak mencela orang lain adalah merupakan pangkal keberhasilan dakwah, Sederhana juga bukanlah berarti dalam kehidupan sehari-hari selalu ekonomis dalam memenuhi kebutuhannya, akan tetapi sederhana di sini adalah tidak bermegah, angkuh dan hendaklah juga bertawakkal kepada Allah Swt, karena sifat seperti itu adalah perbuatan yang disukai Allah.[12]

Jelas sekali bahwa menyeru kepada jalan yang diridhai Allah adalah merupakan jalan, ciri-ciri dan sifat-sifat para Nabi dan Rasul. Allah mengutus Rasul untuk berwasiat dan menganjurkan kepada umat Islam untuk menyebarkan agama Islam.[13]

Menyampaikan ajaran agama Allah kepada umat manusia merupakan kewajiban bagi hamba Allah, dimanapun mereka berada karena menyeru kepada perjalanan yang diridhai Allah merupakan suatu tindakan nyata yang dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat yang selalu menunggu siraman rohani yang sejuk.

Dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah tidaklah hanya sekedar agar pesan tersebut dapat disampaikan dan diterima oleh masyarakat, akan tetapi hendaknya pesan tersebut dapat mengerti dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Posisi penyiaran Islam sangatlah penting artinya, dalam kehidupan beragama, ideologi terus berkembang dan berlangsung, sebab suatu ideologi tidak akan terjamin kelangsungan tanpa adanya dakwah Islamiah yang dilaksanakan secara kontinyu sekalipun agama (ideologi agama sangat baik, yang jelas bahwa penyiaran Islam haruslah berjalan terus menerus)[14]

Penyiaran Islam yang terdiri dari berbagai aktivitas sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dilakukan dalam rangka mencapai nilai tertentu. Nilai tertentu yang diharapkan dapat dicapai dan diperoleh dengan jalan melakukan penyelenggaraan penyiaran Islam dan harus mempunyai tujuan. Karena tanpa adanya tujuan tertentu yang dapat diwujudkan, maka penyelenggaraan penyiaran Islam tidak akan mempunyai arti apa-apa, bahkan merupakan pekerjaan yang sia-sia yang hanya menghamburkan fikiran, tenaga dan biaya.

Sebagai suatu aktivitas dakwah tidaklah mungkin dilaksanakan secara sambil lalu dan seadanya saja, melainkan haruslah ada persiapan yang direncanakan secara matang, dengan memperhatikan segenap segi dan faktor yang mempunyai kaitan dan pengaruh bagi pelaksanaan dakwah Islamiah. Demikian pula sebagai usaha atau aktivitas penyiaran Islam tidak mungkin diharapkan dapat mencapai apa yang menjadi tujuannya dengan hanya melakukan sekali perbuatan saja, tetapi harus melakukan serangkaian atau serentetan perbuatan yang disusun secara tahap demi tahap, dengan sasarannya masing-masing yang ditetapkan secara rasional pula. Penetapan rasional mengandung arti bahwa sasaran itu haruslah obyektif sesuai dengan kondisi yang ada, serta faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam penyelenggaraan penyiaran Islam.

Di samping itu, meskipun penyelenggaraan penyiaran Islam tidak mustahil dapat dilakukan oleh orang seorang secara sendiri-sendiri, tetapi melihat kompleksnya persoalan dakwah Islamiah, maka pelaksanaan penyiaran Islam oleh orang seorang, sendiri-sendiri tidaklah efektif. Kompleksitas persoalan dakwah Islamiah itu mencakup segenap aspek dakwah, baik obyek, sistem dan metode, maupun penyelenggaraannya. Obyek penyiaran dakwah misalnya, terdiri dari masyarakat (manusia) yang bermacam-macam dan senantiasa mengalami suatu perubahan dan perkembangan pada sifatnya. Maka dalam menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masyarakat semacam itu, kiranya akan lebih efektif bila mana dilakukan oleh lebih dari satu orang yang saling melakukan kerja sama. Begitu pula dalam pelaksanaan atau menggunakan pemilihan dan penggunaan sistem, dan metode dakwah apa yang tepat, serta bagaimana penyiaran Islam itu harus diselenggarakan, akan lebih efektif bilamana dilakukan dengan kerja sama yang baik.[15]

Dengan perkataan lain, pelaksanaan penyiaran Islam akan lebih efektif, bilamana didukung oleh beberapa orang yang diatur dan disusun sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan yang melaksanakan secara bersama-sama tugas dakwah yang sifatnya semakin kompleks itu. Rangkaian perbuatan yang dilaksanakan secara bersama-sama dan dapat menghasilkan hasil yang memuaskan.

Memang dalam penyiaran Islam sangat diperlukan metode yang baik, baik metode ceramah, metode tanya jawab dan lain sebagainya, apalagi dengan datangnya pengaruh-pengaruh dari Barat melalui media massa terhadap perilaku. Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya bukti-bukti mengenai perubahan perilaku umat manusia yang disebabkan oleh Media Massa, baik berupa kampanye yang dilakukan dengan secara sengaja maupun tidak. Kampanye yang tidak sengaja dilakukan adalah gaya-gaya modern yang ditampilkan di media massa yang belum mampu diterima oleh umat Islam. Misalnya tata berpakaiannya sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam, yang dulunya sebelum dikenalnya media massa khususnya dari Barat, para anak muda masih memakai pakaian Indonesia, bahkan cara berpakaiannya sangat sederhana.[16] Hal ini semua disebabkan karena banyaknya kampanye yang setiap hari datang, baik yang disadari maupun tidak.

Untuk menghadapi kendala-kendala seperti yang ada di atas, maka sangat diperlukan aktivitas penyiaran agama Islam yang berkesinambungan dan usaha-usaha lain yang merupakan penopang dan pendorong keberhasilan dakwah tersebut. Dengan tujuan adalah untuk menumbuhkan rasa pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengalaman ajaran agama Islam yang dibawakan oleh aparat dakwah atau penerang agama. [17]

Penyiaran Islam, dalam rangka pemahaman dan pengamalan ajaran agama Islam sangat nyata dalam kehidupan masa lalu, secara dan akan datang. Melalui penyiaran Islam akan dapat terwujud pribadi-pribadi muslim yang nantinya dapat menjadi muballigh yang menyebarkan agama Islam kepada seluruh umat manusia. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam (QS. Al- Hijr 915) 94 sebagai berikut:

Terjemahnya:

Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.[18]

Jelaslah tugas berdakwah dalam mengembangkan ajaran agama Islam besar sekali, karena melalui dakwah akan melahirkan insan-insan yang berkepribadian yang mulia dan termasuk perubahan sikap dan tingkah laku dalam kehidupan umat manusia.

Di dalam Sunnah Rasulullah saw, juga ditemukan bahwa manusia berkewajiban untuk menegakkan dan mencegah kemungkaran, dan manfaat yang didapatkan oleh orang-orang menunaikannya, serta siksaan bagi orang-orang yang melalaikan perintah Allah swt.

Penyiaran Islam Adalah suatu proses atau usaha yang tidak pernah mengenal lelah dan selesai pelaksanaannya, selama itu pulalah proses dakwah mutlak diperlukan.[19]

Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha untuk meningkatkan pemahaman agama dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, akan tetapi menuju yang lebih luas, pada masa sekarang ini ia harus lebih berperan menuju kepada ajaran agama Islam secara lebih luas yang menyeluruh dalam segala hal.

Penyiaran Islam adalah sesuatu proses yang kompleks dan unik. Kompleks seperti bahwa dalam menjalankan dakwah mengikut sertakan keseluruhan aspek kehidupan, baik yang ada hubungannya dengan sifat jasmaniah maupun sifat rohaniah. Sedangkan yang unik artinya di dalam pelaksanaan dakwah adalah sebagai obyeknya terdiri dari berbagai macam perbedaan, perbedaan dalam budaya, sifat ideologi, kehendak dan lain sebagainya.

Penyiaran Islam adalah merupakan titik sentral para muballigh dalam menyiarkan Islam di atas persada bumi ini, mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, karena bagaimanapun juga untuk menyiarkan agama Islam kepada masyarakat penerapannya harus sesuai dengan keadaan dan kondisi yang ada dimana mereka berada.

Menyiarkan Islam adalah merupakan kewajiban bagi semua hamba Allah, dimanapun mereka berada, karena seruan kepada jalan Allah, itu merupakan suatu tindakan nyata yang dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat Islam yang selalu menunggu siraman rohani yang sejuk, dan mendatangkan nikmat dan kebahagiaan tersendiri bagi umat Islam.

Selaras apa yang dikatakan A. H. Hasanuddin dalam bukunya Retorika Dakwah Publistik dalam Kepemimpinan Islam, bahwa:

Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.[20]

Dari pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa penyiaran Islam adalah merupakan rangsangan atau suatu motivasi yang dapat membawa umat manusia kepada jalan yang diridhai Allah Swt. Serta menjauhkan manusia dari larangan agama, sebab dakwah dapat menjadi pedoman dan tuntunan bagi kehidupan serta bertujuan untuk merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat kepada suasana hidup yang baik atas dasar nilai-nilai ajaran agama Islam.

C. Hukum Penyiaran Islam

Penyiaran Islam adalah suatu proses pembentukan watak manusia yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam sebagai pewaris atau pelanjut ajaran Rasulullah Saw. Dalam menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan.

Perkembangan dan pertumbuhan manusia dapat ditumbuh-kembangkan terus dengan cara pengarahan-pengarahan serta yang lebih baik, sehingga dengan demikian dakwah perlu terus ditingkatkan kualitasnya yang harus menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan umat manusia, baik yang menyangkut rohaniah maupun jasmaniah.

Menyiarkan agama Islam adalah kewajiban bagi kaum muslimin untuk melaksanakannya, sebab penyiaran Islam yang merupakan napas gerakan Islam, dengan penyiaran maka ajaran Islam dapat disebar luaskan secara merata dalam kehidupan masyarakat, yang dimulai pada masa Rasulullah, masa sahabat dan hingga dewasa ini.

Adapun dasar hukum kewajiban berdakwah tentunya tidak terlepas dari Al- Qur’an dan hadits Rasulullah Saw, dan landasan para Ulama. Untuk lebih jelas dan dapat dilihat para uraian tersebut:

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam dan merupakan dasar hukum untuk menyiarkan Islam, banyak sekali ayat-ayat yang menyangkut kewajiban untuk menyiarkan agama Islam, begitu pula keuntungan-keuntungan para da’i dalam menyampaikannya.

Dalam ayat-ayat tersebut antara lain: QS. Ali Imran (3) sebagai berikut:

Terjemahnya :

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.[21]

Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

2. Hadis Rasulullah

Hadis yang menganjurkan untuk menyiarkan Islam yaitu:

Artinya:

Dari Abu Sai’id Al Hudri ra, berkata: saya telah mendengarkan Rasulullah Saw, bersabda : barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah merubah dengan tangan/ kekuasaanya, dan apabila tidak mampu maka hendaklah dengan nasehatnya, dan apabila tidak mampu pula, maka hendaklah dengan keimanan hatinya, itulah itu selemah-lemah Iman.[22]

Untuk merubah kemungkaran bukan semata-mata kekerasan tetapi dibarengi dengan akal sehat.

3. Pendapat Para Ulama

Berdasarkan dari ayat Al-Qur’an, 104 surat Al Imran yang telah dikemukakan di atas, maka para Ulama sepakat dalam wajibnya dakwah ditunaikan, akan tetapi apakah wajib “aini” atau “kifayah” Ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Menyiarkan Islam adalah wajib “kifayah” menurut Farid Ma’ruf Nour, sedang menurut Mufassir Imam Jalaluddin As Suyuti, menetapkan fardhu kifayah, akan tetapi yang dimaksud mereka adalah tabligh yakni menyampaikan ajaran agama Islam dengan lisan dan tulisan. Maksudnya dalam berdakwah hanya sebagian kepada suatu bidang tertentu yang memerlukan syarat dan keahlian tertentu.

Atas dasar itulah, maka menyiarkan Islam adalah merupakan bagian yang sangat penting sekali dalam kehidupan seorang muslim, bahkan tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa tidak sempurna bahkan sulit dikatakan orang muslim apabila dia menghindari atau membutakan matanya dari tanggung jawab sebagai juru dakwah.[23]

Konsekuensi sebagai seorang Muslim tidak boleh tinggal diam melihat kemungkaran-kemungkaran yang merajalela dalam masyarakat, harus ada usaha untuk mencegahnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing. Hal ini mengandung tiga alternatif dalam mengubah dan mencegah kemungkaran yaitu:

1. Menggunakan kekuasaan, yang terkena perintah ini adalah penguasa (pemerintah) juga pemimpin dalam suatu lingkungan wewenang kekuasaannya, seperti guru, terhadap muridnya, orang tua terhadap anak-anaknya.
2. Memberikan peringatan atau nasehat yang baik, yaitu dengan kata-kata yang lemah lembut dan dapat meresap dalam diri seseorang.
3. Ingkar dalam hati, menolak atau tidak setuju akan perbuatan yang mungkar, hal ini dapat dilaksanakan bila kedua alternatif tersebut di atas, tidak dapat dilakukan.

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa penyiaran Islam adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum muslimin untuk menjunjung tinggi undang-undang Ilahi dalam seluruh aspek kehidupan umat manusia dalam masyarakat, sehingga ajaran Islam menjadi titik tolak atau pedoman yang mendasari, menjiwai dan mewarnai seluruh sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan hidupnya.

[1] Lihat, Abu Hamid, Sistem Pesantren Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan. (Ujung Pandang: Fakultas Sastra UNHAS, 1978) h. 3.


[2] Wahjoetimo, Perguruan tinggi Pesantren Pendidikan alternative masa depan, (Cet. I. Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 70.

[3] Lihat Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Ilmu, t.th) h. 310.

[4] Abu Hamid, op.cit., h. 18.

[5]Lihat Mas’ud Khasan Abdul Qahar, et. Al., Kamus Pengetahuan Populer (Cet. I; Yogyakarta: CV. Bintang Pelajar, t.th), h. 191.

[6] M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan. (Jakarta: LPES, 1974). h. 83

[7] Lihat, Ibid. h. 40.

[8] Lihat, Ibid,. h. 41.

[9] Lihat, Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah (Cet. III; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1983), h. 1.

[10] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), 49.

[11] Lihat Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Cet. I; Jakarta: CV. Gaya Media Pratama, 1987). H. XV.

[12] Lihat, Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al- Ikhlas. 1983) h. 42.

[13] Lihat, Imam Habib Abdullah al- Waddad, Kelengkapan Dakwah (Semarang: CV. Toha Putra, 1980), h. 18.

[14] Lihat, Anwar Masyari, Studi Tentang Ilmu dakwah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h. 11.

[15]Lihat, Abdul Rosyad Saleh, Manajemen Dakwah Islam (Cet. II; Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 11

[16] Lihat, Ishadi Dunia Penyiaran Prospek dan Tantangannya, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 1999), h. 123

[17] Lihat, M. Arifin, Psikologi Dakwah, (Cet. 4; Jakarta : Bumi Aksara, 1997), h. 4

[18] Departemen Agama RI, opcit., h. 339

[19]Lihat A. H. Hasanuddin, Retorika Dakwah Publistik Dalam Kepemimpinan, (Surabaya: UNAS Nasional, 1992)., h. 33

[20]Ibid, h. 35.

[21] Departemen Aagama., op. , Cit h. 93

[22] Imam Abu Zakariya, Riyadu Salihin, (Cet. IX; Surabaya: Pt. Bina Ilmu, 1994), h. 176.

[23] Lihat Moto Asmara, op.cit., h. 33.

Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. :mrgreen:

Salam …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar