Kamis, 22 September 2011

Tinjauan tentang Perceraian dan Pengaruhnya bagi Anak

A. Pengertian Perceraian (Talak)

Menurut bahasa, talak berarti menceritakan atau melepaskan.[1] Sedang menurut isyarat, yang dimaksud talak ialah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau di masa mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata tersebut. Dari sumber yang berbeda, juga dikatakan bahwa perceraian atau talak adalah berarti menunjukkan cara yang sah mengakhiri perkawinan, meskipun Islam memperkenankan perceraian jikalau alasan kuat baginya, hak cerai itu hanya dipergunakan dalam keadaan terpaksa.[2]

Ada saat dalam kehidupan manusia, ketika tak mungkin baginya melanjutkan hubungan yang akrab dengan istrinya dan sebaliknya. Sudah merupakan sebagian sifat manusia bahwa sekalipun dia telah mencapai segenap prestasi dan meningkatkan keilmuannya namun kelemahannya sebagai manusia biasa tetap lebih menonjol.

Tujuan mulia dalam melestarikan dan menjaga kesinambungan hidup rumah tangga ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak kita jumpai bahwa tujuan mulia perkawinan tidak dapat diwujudkan secara baik. Ada saja faktor yang mempengaruhi seperti masalah ekonomi, perbedaan prinsip, krisis akhak.

Ajaran Islam tidak menutup mata terhadap hal-hal tersebut di atas. Ajaran Islam membuka mata jalan keluar dari krisis atau kesulitan rumah tangga yang tidak dapat diatasi lagi tanpa perceraian (talak). Jalan keluar tidak boleh ditempuh kecuali dalam keadaan darurat, dapat dibenarkan oleh Islam tetapi putusnya pernikahan itu ada hal yang tidak disenangi dalam Islam bahkan Allah melaknati, apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang.

B. Sebab-sebab Perceraian

Islam sebenarnya tidak pernah menolak hak wanita, bahkan memberikan kemungkinan-kemungkinan kepadanya untuk menuntut cerai kepada hakim apabila mengalami penderitaan hebat, siapapun takkan tahan menderita terus-terusan. Berdasarkan penderitaan itu, seorang wanita boleh menuntut cerai. Dan adalah kewajiban hakim untuk memeriksa kebenaran pengaduan tersebut dengan seksama. Bila memang benar, maka bolehlah wanita diceraikannya oleh suaminya.

Berikut ini sebab-sebab perceraian :

1. Perceraian Disebabkan karena Masalah Ekonomi

Suami tidak mampu memberi nafkah kepada istri dan anaknya sebagaimana tertera dalam firman Allah Swt. QS. Al-Baqarah (2) : 231 yang berbunyi :

Terjemahnya:

“… Setelah itu boleh menahan (istri) dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik …”.[3]

Adapun maksud ayat di atas, bahwa apabila suami itu mempertahankan istrinya maka wajib menahannya dengan ma’ruf atau bila hendak menceraikan juga wajiblah dengan cara yang baik pula. Tidak diragukan, bahwa dengan tidak memberi nafkah berarti tidak dapat mempertahankan istri dengan ma’ruf.

1. Perceraian karena Perbedaan Prinsip

Apabila antara suami istri terdapat perbedaan pendapat dan pertengkaran yang memuncak sehingga kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya dengan sendiri, maka dapatlah diutus seorang hakam dari pihak suami atau hakam dari pihak istri. Kasus krisis rumah tangga yang memuncak ini dalam istilah fiqh disebut syiqaq. Perceraian karena perbedaan prinsip ini diberikan solusi dalam Al-Qur’an adalah QS. Al-Baqarah (2): 229 berikut:

Terjemahnya:

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.

1. Perceraian karena Kasus Akhlak

Kehidupan keluarga terutama orang tua mempunyai kedudukan istimewa di mata anak-anaknya, karena orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mempersiapkan dan mewujudkan masa depan yang lebih baik, maka mereka para orang tua berperan aktif dalam membimbing anak-anaknya dalam kehidupan di dunia yang penuh cobaan dan godaan. Dalam hal ini ibu bapak menempati posisi sebagai tempat rujukan dan keluh kesah bagi anak, baik dalam soal moral maupun untuk memperoleh informasi. Gerak dan aktifitas ini harus disadari oleh seseorang semenjak dia menjadi ibu bapak dari anak-anaknya.

1. Tidak ada keharmonisan

Betapa pentingnya keterlibatan semua unsur (yang berkompeten) untuk memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai cara-cara membentuk keluarga yang harmonis, sebab tentu faktor ini banyak terjadi dikarenakan kurangnya pengertian mereka dalam pembinaan rumah tangga yang baik. Selain itu, kepada mereka yang telah mencapai usia kawin dan hendak melangsungkan pernikahan, sudah seharusnya sejak awal diberi penyuluhan/bimbingan, sehingga mereka dapat menyadari bahwa dalam rumah tangga faktor pengertian, kematangan dan cinta kasih sayang (mawaddah wa rahmah) antara kedua belah pihak harus senantiasa tercipta dan berjalan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan untuk mengupayakan terciptanya kehidupan rumah tangga yang harmonis, bahagia lahir dan batin, suami isteri mencapainya.

Oleh karena itu, meskipun perceraian itu terlarang namun apabila tidak ada jalan lain lagi, maka meskipun terlarang tetap juga dilaksanakan karena mungkin perceraian itu lebih baik akibatnya daripada tetap bersatu sebab apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan tidak dipenuhi haknya maka keduanya tidak akan merasa bahagia dan sejahtera sampai mengadakan perceraian.

Krisis akhlak adalah kemerosotan moral yang terjadi pada diri manusia, hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Bapak sebagai keluarga yang seharusnya menjadi contoh bagi anak-anaknya justru berbuat kesalahan besar. Apabila disadari sepenuhnya semua sikap orang tua secara tidak langsung dan disengaja merupakan pendidikan moral dan menjadi unsur dalam kepribadian anak. Karena itu apabila seorang anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam kehidupan rumah tangga atau keluarga yang beragama, rukun, damai serta berakhlak mulia. Maka pada masa dewasanya nanti anak akan berakhlak mulia dan dalam hidupnya taat dalam beragama.

C. Pendidikan Anak

Dalam keluarga, ayah dan ibu adalah pendidik alamiah, bukan pendidikan jabatan maka merekalah secara alamiah dapat selalu dekat dengan anak-anaknya. Oleh karena itu, bila struktur dan interaksi keluarga sudah tidak utuh lagi, maka sukar bagi keluarga itu menciptakan situasi yang tenang dan damai, akibatnya perkembangan pendidikan bagi anak-anaknya akan mengalami kesulitan.

Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, kondisi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelancaran pendidikan anak salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak ialah faktor keutuhan keluarga. Menurut W.A. Gerungan DIPI Psych. Bahwa yang dimaksud dengan keutuhan ialah pertama-tama ialah keutuhan dalam struktur keluarga yaitu bahwa di dalam keluarga ada ayah di samping ibu dan anak-anaknya. Apabila tidak ada ayah dan ibunya atau kedua-duanya tidak ada maka, struktur keluarga tidak utuh lagi. Juga apabila ayah dan ibu jarang pulang ke rumah dan berbulan-bulan meninggalkan anaknya karena tugas atau hal lain secara berulang-ulang, maka struktur keluarga itupun sebenarnya tidak utuh lagi.[4]

Orang tua sebagai pembimbing atau pendidik merupakan sub sistem atau komponen pendidikan yang mesti ada dan turut menentukan dalam sistem pendidikan, bahkan memegang fungsi dan peranan sentral dalam mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan merupakan motor penggerak mekanisme berlangsungnya situasi pendidikan.

Manusia adalah hasil dari proses pendidikan. Dengan mudah hal ini dapat direalisasikan manakala salah satu dari unsur-unsur pendidikan dikaitkan dengan petunjuk tingkah laku manusia berkenaan dengan obyek tertentu. Praktek pendidikan tidak pelak lagi pasti akan mengalami kegagalan, melainkan dibangun konsep yang jelas mengenai sifat dasar manusia ini. Ini yang mungkin akan memberi cahaya penerang bagaimana mempercepat kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diiringi beban yang terlalu berat oleh kemajuan-kemajuan demi kebahagiaan manusia.[5]

- Fungsi Orang Tua menurut Islam

Fungsi ini terwujud karena langsung diberikan oleh Allah sendiri yang tersandar dalam firman-Nya QS. At-Tahrim : 6 sebagai berikut :

Terjemahnya:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”[6].

Dari kewajiban yang dipikulkan oleh ayat tersebut atas pundak orang tua dapat dibedakan 2 macam tugas, yaitu :

1. Orang tua berfungsi sebagai pendidik keluarga
2. Orang tua berfungsi sebagai pemelihara serta pelindung keluarga

- Orang tua sebagai pendidik

Menurut pendapat Al-Gazaly adalah sebagai berikut :

Melatih anak adalah suatu hal yang sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tuanya. Hati anak suci bagaikan mutiara, cemerlang, bersih dari segala yang diukurkan atasnya dan condong kepadanya. Maka bila ia dibiasakan ke arah kebaikan maka jadilah ia baik, berbahagia di dunia dan berbahagia di akhirat, sedang ayah serta para pendidiknya turut mendapat bagian pahalanya.

Anak dalam perkembangannya menuju kedewasaannya selalu memerlukan bimbingan dari orang tua. Begitu juga halnya dalam menanamkan sikap untuk belajar bagi anak, sudah barang tentu memerlukan bimbingan dari orang tua di rumah.

Orang tua sebagai pembimbing atau pendidik merupakan sub sistem atau komponen pendidikan yang mesti ada dan turut menentukan dalam sistem pendidikan, bahkan memegang fungsi dan peranan sentral dalam mencapai tujuan pendidikan, bahkan memegang fungsi dan peranan sentral dalam mencapai tujuan pendidikan. H. Abdurrahman, menjelaskan bahwa Pendidikan merupakan motor penggerak mekanisme berlangsungnya sistem pendidikan, dinamisator dan stabilisator serta mobilisator, peristiwa pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan dengan untuk mencapai tujuan pendidikan dengan melibatkan secara aktif peserta didik.[7]

Dengan demikian pendidik melaksanakan tugas dan kewajibannya mendidik secara sadar dan bertanggung jawab karena motivasi mengemban amanah dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Orang tua membimbing karena memang suatu kewajiban, karena anak merupakan suatu amanah yang diberikan oleh Allah Swt. kepadanya. Sebaliknya jika orang tua sebagai pembimbing tidak tidak dapat melaksanakan tugas sebagai seorang pembimbing yang mungkin disebabkan karena sibuk dengan pekerjaan atau dengan alasan-alasan lain, maka anak tersebut pada gilirannya akan mengalami kesulitan belajar. Pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Tetapi hendaknya tuntutan orang tua terhadap anak melaksanakan kegiatan belajar jangan terlalu berat bagi anak-anaknya. Dalam hal ini, orang tua perlu mengingat dan menyesuaikan kepada perkembangan anak. Terlalu banyak tuntutan bagi anak juga akan menyebabkan hal-hal yang buruk.

Perlu diingat mendidik anak itu harus disesuaikan dengan bakat dan kemampuan anak itu sendiri, di samping mengingat kemampuan dan keinginan orang tua.

Bagaimana cara orang tua mendidik anak-anaknya terkait pula dengan pengetahuan orang tua tentang cara-cara mendidik yang baik. kemampuan mendidik orang tua dengan baik setidak-tidaknya didukung oleh tingkat pendidikannya. Orang tua yang tingkat pendidikannya cukup tinggi, dapat menyesuaikan bimbingan yang dia berikan dengan kebutuhan anak-anaknya.

Demikian halnya dengan pendidikan di dalam keluarga di Kelurahan Bongki. Keluarga dalam hal ini orang tua yang tingkat pendidikannya cukup tinggi dapat mendidik anak-anaknya secara baik. sebaliknya orang tua yang tingkat pendidikannya rendah cenderung mendidik anaknya dengan tidak tepat.

[1]Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqih Wanita, Judul Asli : Fiqhul al-Muslimah, air bahasa : Alih bahasa oleh Anshori Umar (Semarang : Dunia Utama Semarang, 1993), h. 238


[2]Djaman Nur, Fiqih Muamalah (Cet. 1; Semarang, Dina Utama, 1993), h. 130

[3]Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 56

[4]W.Gerungan DIPI Psych, Psikologi Sosial (Cet. VIII; Jakarta: PT. Eresko, 1983), h. 196

[5]Arifin H.M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama. (Cet. VII; Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1978), h. 8

[6]Departemen Agama RI, op.cit., h. 951

[7]H. Abdurrahman, Ilmu Pendidikan Sebuah Pengantar dengan Pendekatan Islam (Jakarta : PT. Al-Qushwa, 1988), h. 65

Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. :mrgreen:

Salam …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar