Kamis, 22 September 2011

Wanita-Wanita yang Haram Dinikahi

Wanita yang Haram dinikahi karena Larangan Nasab

Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita-wanita tersebut dibawah ini, haram dikawini karena hubungan nasabnya.

1. Ibu, termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu
2. Anak-anak perempuan termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau anak perempuan, hingga keturunan dibawahnya
3. Saudara-saudara perempuan, baik saudara seayah, seibu maupun seayah dan seibu
4. Saudara perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek, dari pihak ibu dan seterusnya
5. Saudara perempuan ibu, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ibu dan seterusnya
6. Anak-anak perempuan saudara laki-laki hingga keturunan dibawahnya
7. Anak-anak perempuan saudara perempuan hingga keturunan dibawahnya.

Dalil yang dijadikan pijakan itu adalah

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu, yang perempuan, sauadra-saudaramu, yang perempuan, saudara, saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan (Q.S. An Nisa: 23)

Wanita yang Dilarang Dinikahi Karena Sebab Lain

* Karena ikatan perkawinan (mushaharah)

Mushaharah adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang dengan itu, menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Seluruh mazhab sepakat bahwa istri ayah haram dinikahi, oleh anak kebawah semata-mata karena adanya akad nikah, baik sudah dicampuri atau belum dalilnya adalah firman Allah : “dan Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu” (QS. An nisa : 22)
2. Seluruh mazhab sependapat bahwa istri anak laki-laki haram dikawini oleh ayah keatas, semata-mata karena akad nikah dalilnya adalah firman Allah swt “dan diharamkan bagimu) istri anak-anak mu” (QS. An Nisa : 23)
3. Seluruh mazhab sepakat bahwa ibu istri (mertua wanita) dan seterusnya keatas adalah haram dikawini hanya semata-mata adanya akad nikah dengan anak perempuannya, sekalipun belum dicampuri, berdasar firman Allah swt, yang berbunyi : “(Dan diharamkan bagimu) ibu istri-istrimu” (QS. AN Nisa : 23)
4. Seluruh mazhab sepakat bahwa anak perempuan istri (anak perempuan) tidak haram dinikahi semata-mata karena adanya akad nikah, boleh dinikahi sepanjang ibunya, belum dicampuri dipandang dan disentuh, dengan birahi berdasarkan firman Allah swt : “Dan anak-anak perempuan istri-istrimu, yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah engkau campuri”

Hukum Menyatukan dua wanita ‘muhrim’ sebagai istri

Seluruh mazhab sependapat dalam hal keharaman mengawini dua wanita bersaudara, sekaligus berdasar firman Allah yang berbunyi : “(Dan haram bagimu) mengumpulkan 2 wanita bersaudara sebagai istri (QS. Annisa 4 : 23)

Keempat mazhab sepakat tentang ketidakbolehan menyatukan seorang wanita, dengan bibinya dari pihak ayah sebagai istri, dan seorang wanita dengan bibi dari pihak ibunya, sebab dikalangan mereka berlaku hukum Kully (umum) yaitu ketidakbolehan menyatukan 2 orang kalau seandainya salah satu diantara kedua orang itu laki-laki, dia haram mengawini yang perempuan.

Khawarij mengatakan bahwa boleh menyatukan keduanya, baik si bibi, memberi izin kepada suaminya untuk menikahi keponakan itu maupun tidak. Sementara itu ulama mazhab Imamiyah berbeda pendapat, sebagian diantara mereka mengatakan seperti pendapat keempat mazhab sedang mayoritas diantaranya berpendapat bahwa, apabila orang tersebut lebih mengawini sang keponakan, maka dia boleh mengawini bibi istrinya, baik dari pihak ayah maupun ibu, maka dia tidak boleh mengawini keponakan perempuan istrinya.

Para ulama tersebut berargumentasi dengan ayat berikut ini :

“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian”

Maksudnya, sesudah ayat diatas mengemukakan deretan wanita-wanita yang tidak boleh dikawini, selanjutnya ayat tersebut membolehkan wanita-wanita yang selain itu, pembolehan ini meliputi pola menyatukan bibi dan keponakan perempuannya sebagai istri, kalau seandainya penyatuan ini diharamkan, niscaya Al-Qur’an memberikan nash untuk itu, seperti pada yang ada pengharaman menyatukan 2 orang perempuan bersaudara. Adapun alasan yang mengatakan bahwa, kalau seandainya salah seorang diantara keduanya itu ada yang laki-laki, seperti yang dikemukakan dahulu, ia semata-mata istihsan, dan itu tidak diterima dikalangan imamiyah.

Pada bagian ini terdapat beberapa hal atau masalah dalam :

Tentang Zina

1. Syafi’i dan Maliki berpendapat, seorang laki-laki, boleh mengawini anak perempuannya dari hasil zina, saudara perempuan, cucu perempuan, aik dari anaknya yang laki-laki maupun yang perempuan, dan keponakan perempuannya, sebab wanita-wanita itu secara syar’i adalah orang-orang yang bukna muhrim, dan diantara berdua tidak bisa saling mewarisi
2. Imamiyah berpendapat: barang siapa melakukan zina dengan seorang perempuan, atau mencampurinya karena subhat, sedangkan wanita tersebut bersuami atau sedang dalam keadaan iddah, karena dicerai suaminya. Tapi masih bisa rujuk kembali, maka laki-laki itu haram mengawininya selama-lamanya.
3. Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa, zina itu menyebabkan keharaman mushaharah maka kalau seorang laki-laki melakukan zina dengan seorang perempuan, maka laki-laki itu haram mengawini anak perempuan dan ibu wanita yang dizinahinya itu, sedangkan wanita itu sendiri haram pula dikawini oleh ayah anak laki-laki dari pria yang menzinahinya. Kedua madzhab tidak membedakan terjadinya perzinaan sebelum dan sesudah perkawinan

Jumlah Istri

Semua madzhab sepakat bahwa seorang laki-laki boleh beristri empat dalam waktu bersamaan dan tidak boleh 5, berdasarkan ayat :

“Maka Kawinlah wanita-wanita yang kamu senangi; dua, tiga atau empat “(QS. An Nisa : 3)

Apabila salah seorang diantara keempat istri itu ada yang lepas dari tangannya karena meninggal atau diceraikan, maka orang tersebut boleh kawin dengan wanita lainnya.

Li’an

Apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina atau tidak mengakui anak yang lahir dan istrinya sebagai anak kandungnya, sedangkan istrinya tersebut menolak tuduhannya itu, padahal si suami tidak punya bukti bagi tuduhannya itu, maka dia boleh melakukan sumpah lian terhadap istri itu.

Jumlah talak

Para ulama madzhab sepakat bahwa apabila seorang suami menceraikan istrinya untuk ketiga kalinya, yang didahului oleh 2 kali tolak Raj’i, maka haramlah istrinya itu baginya, sampai ada pria yang mengawininya, maksudnya setelah ditolak untuk ketiga kalinya maka ia harus menjalani Iddah, dan ketiak iddahnya berakhir dikawini oleh laki-laki lain dan dicampuri, kemudian ketika suaminya yang kedua itu meninggal dunia atau menceraikannya, lalu iddahnya, habis, bekas suaminya yang pertama boleh melakukan akad nikah kembali dengannya.

Akan tetapi imamiyah berpendapat bahwa, kalau seseorang wanita telah ditalak, sebanyak sembilan kali dalam bentuk talak “iddah” maka dia haram bagi bekas suaminya selama lamanya, yang dimaksud dengan talak iddah oleh kalangan Imamiyah ialah seorang laki-laki mentalak istrinya dalam keadaan suci, kemudian rujuk kembali dan dicampuri. Sesudah itu, ditolaknya kembali disaat istrinya itu, dalam keadaan suci maka pada saat itu laki-laki tersebut tidak halal kawin lagi dengannya kecuali dengan adanya “muhallil (laki-laki lain yang mengawini bekas istrinya itu)

Perbedaan Agama

Semua madzhab sepakat bahwa, laki-laki dan perempuan muslim, tidak boleh kawin dengan orang-orang yang tidak mempunyai kitab suci, atau dengan kitab suci (syibh kitab), orang-orang yang masuk dalam kategori ini adalah para penyembah berhala, penyembahan matahari, penyembah binatang dan benda-benda lain yang mereka puja, dan setiap orang Ziddik yang tidak percaya kepada Allah.

Keempat madzhab tersebut sepakat bahwa orang-orang yang memiliki kitab yang dekat dengan kitab suci, seperti orang-orang tidak boleh dikawini yang dimaksud syibh kitab, misalnya anggapan bahwa orang-orang majusi adalah mempunyai kitab suci yang kemudian mereka ubah, dan menjadi orang yang seperti saat ini.

Ahli kitab yang berhukum kepada hakim muslim

Dalam kitab al Jawahir yang beraliran Imammiyah, bab al jihad terdapat uraian yang bermanfaat dan amat relevan dengan kajian kita, kesimpulan dari uraian tersebut adalah sebagai berikut: kalau seorang non muslim, berhukum pada hakim Islam, apakah diperlakukan dengan hukum agama mereka atau hukum Islam?

Di sini Islam harus memperhatikan terlebih dahulu, apabila yang bersengketa itu adalah 2 orang dzimmi, maka hakim boleh memilih dua alternatif

* Menetapkan keputusan dengan hukum Islam
* Menolak permintaan mereka dan tidak perlu mendengarkan tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan.

Kalau kedua orang itu yang bersengketa adalah dua orang kafir harbi (kafir yang harus diperangi) maka hakim Islam tidak wajib memutuskan perkara mereka, sebab tidak ada kewajiban baginya untuk membela salah seorang diantara keduanya. Sebagaimana halnya yang terjadi pada orang-orang dzimmi di atas.

Tentang susunan

Seluruh mazhab sepakat tentang sahnya yang berbunyi :

“Apa yang diharamkan karena susunan sama dengan apa yang diharamkan karena nasab”

Berdasarkan hadits ini, maka setiap wanita yang haram dikawini karena hubungan nasab, haram pula dikawini karena hubungan persusunan. Jadi wanita, mana pun yang telah menjadi ibu atau anak perempuan, saudara perempuan atau bibi, (baik dari pihak maupun ibu) atau telah menjadi keponakan (dari saudara susunan laki-laki maupun perempuan), karena penyusunan, disepakati sebagai wanita-wanita yang haram dikawini.

Akan tetapi terdapat perbedaan tentang jumlah susunan yang menyebabkan keharaman dikawini, dan tentang syarat yang ada pada orang disusui dan yang menyusui.

1. Immamiyah mensyaratkan bahwa air susu yang diberikan kepada anak susunan haruslah dihasilkan dari hubungan yang sah, jadi kalau air susu itu mengalir, bukan disebabkan oleh nikah atau karena kehamilan akibat zina, maka air susu tersebut tidak menyebabkan keharaman
2. Imamiyah mensyaratkan bahwa anak menyusui itu harus mengisap air susunya dari payudara wanita yang menyusuinya, kalau dia menerima dari cara yang baik yang tidak langsung seperti itu maka keharaman tidak terjadi.
3. Imamiyah berpendapat bahwa, keharaman tidak dianggap ada, kecuali jika si anak yang disusui telah menerima air susu dari wanita yang menyusuinya selama sehari semalam, dimana hanya air susu tersebut sejalan yang menjadi makanannya, dan tidak diselangi makanan lainnya.
4. Imamiyah syafi’i Maliki dan Hambali mengatakan bahwa usia maksimal anak yang menyusu (yang menyebabkan keharaman) adalah dua tahun, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakannya sampai usia 2 setengah tahun.
5. Hanafi Maliki dan Hanbali mengatakan bahwa tidak disyaratkan bahwa wanita yang menyusui itu harus masih hidup, artinya jika dia lalu ada seseorang bayi menyusu darinya, maka cukuplah sudah hal itu, sebagai penyebab keharaman, bahkan Maliki mengatakan “Kalaupun diragukan apakah yang dihisapnya itu susu atau bukan, keharaman bisa saja terjadi”

Iddah

Seluruh mazhab sepakat bahwa wanita yang masih berada dalam masa iddah tidak boleh dinikahi seperti wanita yang masih bersuami, baik dia beriddah, karena tinggal mati suaminya, dicerai raji maupun bain ini didasarkan atas firman Allah yang berbunyi :

Wanita-wanita yang ditolak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga quru (QS. Al Baqarah : 228)

Akan tetapi terdapat perbedaan tentang laki-laki yang mengawini seorang wanita yang sedang dalam Iddah, apakah ia haram baginya.

Maliki mengatakan, manakala laki-laki itu kemudian mencampurinya (disaat masih beriddah) maka wanita itu menjadi haram baginya untuk selama-lamanya, tapi bila tidak, maka dia tidak haram.

Syafi’i dan Hanafi mengatakan bahwa kedua orang itu harus diceraikan, dan bila wanita tersebut sudah habis masa iddahnya, maka tidak ada larangan bagi laki-laki itu mengirimnya untuk yang kedua kalinya.

Ihram

Imamiyah Syafi’i Maliki dan Hanbili berpendapat orang yang sedang ihram, baik untuk haji maupun umrah, tidak boleh kawin atau mengawinkan orang lain, menjadi wakil atau wali nikah bila perkawinan dilakukan dengan Ihram. Maka perkawinan tersebut batal.

“Orang sedang ihram, tidak boleh kawin, mengawinkan dan melamar”

Sementara Hanafi mengatakan bahwa, ihram tidak menjadi penghalang perkawinan, sedangkan Imamiyah berpendapat manakala akad nikah dilaksanakan, bila dilakukan dengan keadaan baik tidak tahu tentang keharamannya, maka wanita tersebut untuk sementara tidak boleh dikawini. Kemudian bila keduanya telah tahalull (menyelesaikan ibadah haji atau umrahnya) atau laki-laki telah bertahallul.

Sedangkan mazhab-mazhab lain mengatakan bahwa wanita tersebut haram dikawini untuk sementara waktu dan tidak selamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Mughniyah, Muhammad Jawad. 2007. Fiqih Lima Mazhab, Lentera ; Jakarta.

Muhammad, Syaikh Kamil. 1998. Fiqih Wanita. Pustaka Al Kautsar: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar