Kamis, 22 September 2011

Pengertian Ijtihad, Kedudukan, Dasar Hukum, dan Syarat-Syarat Ijtihad

Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad (ar-ijtihad) berakar dari kata al-Juhd yang berarti al-taqhah (daya, kemampuan, kekuasaan) atau dari kata al-Jahd yang berarti al masyqqah (kesulitan, kesukaran). Dari ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna “badal al wus” wal mahud” (pengerahan daya kemampuan), atau pengerahan segala daya kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat.

Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad, daya atau kemampuan 2 objek yang sulit dan berat. Daya dan kemampuan disni dapat diklasifikasikan secara umum, yang meliputi daya, fisik-material, mental-spiritual dan intelektual. Ijtihad sebagai terminology keilmuan dalam Islam juga tidak terlepas dari unsur-unsur tersebut. Akan tetapi karena kegiatan keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak mengarah pada pengerahan kemampuan intelektual dalam memecahkan berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi individu maupun umat manusia secara menyeluruh. Dalam rumusan definisi ijtihad yang dikemukakan ibnu Hazm berbunyi;

“Ijtihad dalam syariat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus dimana hukum itu tidak dapat diperoleh”.

Kedudukan Ijtihad

Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai kedudukan hasil ijtihad. Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan ijtihad. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu. Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar; kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul. Sekalipun sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang fiqih.

Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafah.

Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya. Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.

Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk ber-ijtihad ketika Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan ijtihad bi al ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis. Umar Ibnu Khatthab dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra’yu.

Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan. Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk ber-ijtihad


Dasar Hukum Ijtihad


Ijtihad bisa dipandang sebagai salah atau metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:

Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Umar:

Artinya:

Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.


Syarat-syarat Ijtihad

Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut;

@ Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syariah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.

@ Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syariat. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Hanbal dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda

Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis (Asy-Syaukani : 22)

Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab yang sudah masyhur kesahihannya, seperti Bukhari Muslim, Baghawi, dan lain-lain

@ Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam naskah dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far an Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm dan lain-lain

@ Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan diantaranya kitab maratiba al-ijma’ (ibn Hajm)

@ Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-instimbat-nya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.

@ Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan as sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau al-hadis

@ Mengetahui ilmu fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam berijtihad adalah ilmu ushul fiqh

@ Mengetahui maqashidu asy-syariah (tujuan syariat) secara umum, karena bagaimanapun juga syariat itu berkaitan dengan maqashidu asy-syariah sebagai standarnya

Maksud dari maqashidu al-syariah antara lain menjaga kemaslahatan manusia dan menjatuhkan dari kemadharatan. Namun, standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya.


Objek ijtihad

Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.

Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:

@ Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah

Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah swt

Terjemahnya:

Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat..

Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.

Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama.

Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.

Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.

Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar