Haidarah adalah nama asli yang diberikan oleh ibunya (Fatimah r.a) ketika ia masih kecil. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Dia tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, pada dirinya juga sangat nampak kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia muda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Tarikh Islam tertulis dengan tinta emas tentang keikhlasannya untuk menjadi perisai Rasulullah SAW saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Didalam kancah jihad ia termasuk daftar langganan yang mendapat bendera komando dari Rasulullah SAW. Gerakannya cepat dan lincah. Bila diatas kuda ia bagai petir yang bergerak cepat dan pedangnya Zulfiqar adalah senjata yang telah memakan banyak korban. Tidak pernah ia kalah dalam perang duel. Ia terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama. Dialah Imam Ali bin Abi Thalib Karamullahu Wajhah (Allah memuliakan wajahnya).
Imam Ali r.a seorang yang taqwa, zuhud, wara’, dermawan, faqih, alim, pemberani, cerdas, penuh hikmah dan lembut. Beliau sangat sederhana, ia makan cukup dengan berlaukkan cuka, minyak dan roti kering yang susah bila dikunyah dan terkadang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas menghempas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menggigil.
Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Ia sangat pandai dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah bersinar dan harum kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab. Seorang Ulama pernah berkata,” Perkataaan yang paling hikmah dan sarat dengan kebenaran setelah Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW adalah ucapan Imam Ali r.a”. Hampir semua Imam Mazhab baik Sunni ataupun Syiah bila dirujuk keilmuannya pada jalur paling hulu maka terdapat nama Imam Ali r.a.
Rasulullah pernah bersabda, “Aku adalah gudangnya ilmu, sementara Ali adalah pintu gerbangnya ilmu”. Sehingga Imam Ali dijuluki Baabul Ilmi (pintu gerbangnya ilmu). Ia juga menantu kesayangan Rasulullah SAW dengan bukti bahwa anak tercinta Nabi SAW Fatimah Az Zahra r.a dinikahkan dengan Imam Ali r.a. Ada satu peristiwa menarik ketika pada suatu hari Ali r.a dan istrinya Fatimah Az Zahra r.a berselisih pendapat, maka Ali r.a keluar rumah dan beristirahat tidur siang di serambi masjid. Rasulullah SAW mengetahui hal itu dan kemudian menemui manantu kesayangannya itu yang sedang tidur di masjid. Rasulullah SAW mendekatinya, menyibakkan kain yang terkulai kotor terkena tanah. Menggoyang goyangkannya sambil menyeru, “Hai Abu Turab bangunlah”. Imam Ali r.a pun bangun dan mengucapm salam. Sejak hari itu ia paling senang dipanggil dengan sebutan Abu Turab yang berarti biangnya tanah. Nama itu adalah pemberian langsung dari Rasulullah SAW.
Demikianlah para sahabat Nabi SAW, mereka sangat menyenangi pemberian apapun yang datang dari Rasulullah. Termasuk Imam Ali r.a, meskipun nama Abu Turab terlihat rendah tapi ia memandang bukan pada apa yang diberikan tapi siapa yang memberikan. Tapi kalau diperhatikan lagi apa yang dikatakan Rasulullah SAW adalah benar bahwasanya Imam Ali dan termasuk kita semua adalah Abu Turab karena kita diciptakan Allah SWt dari saripati tanah. Wallahu’alam.
Read More......
Kampung Islam
Sabtu, 24 September 2011
Ia yang mematahkan roti kering dengan lututnya
Saya harap dia menjadi pengganti Hamzah r.a
Fathul Makkah (penaklukan kota Makkah) berlangsung dengan damai. Tidak ada setetes darahpun yang mengalir pada peristiwa maha penting dari untaian perjalanan dakwah Rasulullah SAW dan para sahabat yang penuh dengan pengorbanan. Ini adalah puncak kegemilangan Rasulullah SAW atas kota Makkah dan juga Kakbah. Dibalik peristiwa ini banyak pembesar pembesar Quraisy yang dulu sangat getol memusuhi, menghina, mencaci dan mengusir Rasulullah SAW dari kampung halamannya telah menyatakan memeluk Islam. Seorang tokoh Quraisy yang paling dikenal adalah Abu Sufyan bin Al-Harits, dia termasuk seorang putra dari paman dan bibi Rasulullah SAW.
Abu Sufyan bin Al-Harits pada awalnya enggan menemui Rasulullah SAW. Dia merasa telah takluk dan tak berdaya. Hilang segala kehebatan yang dulu dia banggakan sebagai pemimpin kaum Quraisy. Dia telah tumbang oleh cahaya Islam, tercabik cabik segala kekuatan yang pernah ia bangun, hancur luluh armada perangnya yang pernah mengalahkan Rasulullah SAW pada waktu perang Uhud. Dia kehilangan separoh jiwanya.
Sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib r.a mendekatinya dan menyuruh Abu Sufyan bin Al-Harits untuk menemui Rasulullah SAW dan mengucapkan perkataan saudara saudara Nabi Yusuf a.s ketika menyesali perbuatan mereka. Abu Sufyan bin Al-Harits melakukan hal itu, “Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” (Q.S Yusuf: 91). Maka Rasulullah SAW pun menjawab dengan ayat berikutnya, “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha penyayang di antara para penyayang.” (Q.S Yusuf: 92)
Sejak saat itu Abu Sufyan bin Al-Harits telah menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya. Perlahan namun pasti keislamannya makin subur di dalam dirinya. Bahkan sejak saat itu dikisahkan bahwa ia tidak pernah menatap wajah Rasulullah SAW karena malu. Rasulullah SAW pun mencintai beliau dan mempersaksikannya akan masuk surga. Kata beliau: “Saya harap dia menjadi pengganti Hamzah.”. Kini jiwanya telah penuh kembali. Penuh oleh hidayah dan kecintaan untuk mencintai Allah dan RasulNya.
Sesungguhnya ketika tauhid itu tertanam kokoh di dalam hati seseorang. Apalagi bila diikrarkan dengan penuh keyakinan dan kejujuran yang sempurna, niscaya tidak mungkin orang yang mengucapkan kalimat tauhid itu mudah untuk terjatuh dalam perbuatan dosa atau terus-menerus berbuat dosa. Hidayah itu ditangan Allah bukan ditangan kita. Tugas kita adalah mengajak manusia mentaati Allah dan mendoakan mereka. Dan kita tidak punya vonis mengatakan seseorang pasti masuk syurga atau neraka karena Allah lah yang membolak balikkan hati manusia.Semoga Allah SWT meridhai Abu Sufyan bin Al-Harits, sepupu dan saudara sesusuan Rasulullah SAW. Read More......
Abu Sufyan bin Al-Harits pada awalnya enggan menemui Rasulullah SAW. Dia merasa telah takluk dan tak berdaya. Hilang segala kehebatan yang dulu dia banggakan sebagai pemimpin kaum Quraisy. Dia telah tumbang oleh cahaya Islam, tercabik cabik segala kekuatan yang pernah ia bangun, hancur luluh armada perangnya yang pernah mengalahkan Rasulullah SAW pada waktu perang Uhud. Dia kehilangan separoh jiwanya.
Sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib r.a mendekatinya dan menyuruh Abu Sufyan bin Al-Harits untuk menemui Rasulullah SAW dan mengucapkan perkataan saudara saudara Nabi Yusuf a.s ketika menyesali perbuatan mereka. Abu Sufyan bin Al-Harits melakukan hal itu, “Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” (Q.S Yusuf: 91). Maka Rasulullah SAW pun menjawab dengan ayat berikutnya, “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha penyayang di antara para penyayang.” (Q.S Yusuf: 92)
Sejak saat itu Abu Sufyan bin Al-Harits telah menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya. Perlahan namun pasti keislamannya makin subur di dalam dirinya. Bahkan sejak saat itu dikisahkan bahwa ia tidak pernah menatap wajah Rasulullah SAW karena malu. Rasulullah SAW pun mencintai beliau dan mempersaksikannya akan masuk surga. Kata beliau: “Saya harap dia menjadi pengganti Hamzah.”. Kini jiwanya telah penuh kembali. Penuh oleh hidayah dan kecintaan untuk mencintai Allah dan RasulNya.
Sesungguhnya ketika tauhid itu tertanam kokoh di dalam hati seseorang. Apalagi bila diikrarkan dengan penuh keyakinan dan kejujuran yang sempurna, niscaya tidak mungkin orang yang mengucapkan kalimat tauhid itu mudah untuk terjatuh dalam perbuatan dosa atau terus-menerus berbuat dosa. Hidayah itu ditangan Allah bukan ditangan kita. Tugas kita adalah mengajak manusia mentaati Allah dan mendoakan mereka. Dan kita tidak punya vonis mengatakan seseorang pasti masuk syurga atau neraka karena Allah lah yang membolak balikkan hati manusia.Semoga Allah SWT meridhai Abu Sufyan bin Al-Harits, sepupu dan saudara sesusuan Rasulullah SAW. Read More......
Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku
Didalam sejarah perjuangan tegaknya Kalimatillah diatas bumi ini tidak bisa dipungkiri bahwa peranan wanita adalah tidak kecil. Mereka adalah ibarat sumbu yang menawarkan bara perjuangan kepada suami dan anak anak mereka. Banyak orang orang besar lahir dari rahim seorang wanita yang besar pula keimanan dan cintanya kepada Allah. Ada ibunda kita Khadijah r.a. Fatimah Az Zahra r.a yang melahirkan Imam Hasan r.a dan Imam Husein r.a. juga seorang pembantu wanita dari Ummul Mukminin Ummu Salamah yang kemudian melahirkan Ulama Besar dari Irak yaitu Imam Hasan Al Bashri rahimahullah.
Diantara para sahabiyah r.a terdapat nama Ummu Sulaim r.a yang memiliki kisah menawan dalam deretan kisah penuh teladan generasi umat manusia terbaik sepanjang masa. Dia seorang wanita yang sholehah, wara’, dan tidak kemilau oleh perhiasan dunia. Dia adalah ibunda sahabat Anas bin Malik r.a, seorang sahabat Nabi SAW yang termasuk golongan Ulama dan terkenal dalam pemahamannya tentang Islam.
Ummu Sulaim r.a adalah seorang Anshor yang awal awal masuk islam. Keistiqomahannya dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan telah menjadi buah bibir di masyarakat Yatsrib. Ketidaksetujuan suaminya yang masih kafir tidak menggoyahkan Iman yang telah tertancap dalam di lubuk hatinya. Suaminyapun pergi meningalkan Ummu Sulaim r.a
Selang berapa lama seorang laki laki bernama Abu Thalhah yang waktu itu masih kafir memberanikan diri melamarnya dengan mahar yang tinggi. Tapi Ummu Sulaim tidak melirik sedikitpun terhadap apa yang ditawarkan di depan kedua matanya. Baginya islam adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Ummu Sulaim r.a berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim r.a dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Ummu Sulaim r.a telah memberi kita sebuah pelajaran bahwa gemerlap dunia dengan segala kemewahannya adalah tidak lebh utama dari nilai Iman seorang hamba. Pernikahan adalah salah satu jalan bagi tersebarnya hidayah bagi mereka yang rindu akan petunjuk Allah. Kita juga mendapat pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sebuah hadits diriwayatkan dari Anas r.a menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (HR An Nasa’i)
Semoga kita dapat meneladani sifat sifat mulia yang ada pada pada diri sahabat sahabat Nabi SAW. Mereka adalah contoh nyata manusia manusia paling agung dalam sejarah. Mereka bukan agung karena assesory yang mahal, bukan pula oleh berlimpahnya dinar dan dirham tapi oleh besarnya rasa cinta dan tingginya pengorbanan mereka untuk tegaknya Islam di atas bumi ini. Wallahu’alam. Read More......
Diantara para sahabiyah r.a terdapat nama Ummu Sulaim r.a yang memiliki kisah menawan dalam deretan kisah penuh teladan generasi umat manusia terbaik sepanjang masa. Dia seorang wanita yang sholehah, wara’, dan tidak kemilau oleh perhiasan dunia. Dia adalah ibunda sahabat Anas bin Malik r.a, seorang sahabat Nabi SAW yang termasuk golongan Ulama dan terkenal dalam pemahamannya tentang Islam.
Ummu Sulaim r.a adalah seorang Anshor yang awal awal masuk islam. Keistiqomahannya dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan telah menjadi buah bibir di masyarakat Yatsrib. Ketidaksetujuan suaminya yang masih kafir tidak menggoyahkan Iman yang telah tertancap dalam di lubuk hatinya. Suaminyapun pergi meningalkan Ummu Sulaim r.a
Selang berapa lama seorang laki laki bernama Abu Thalhah yang waktu itu masih kafir memberanikan diri melamarnya dengan mahar yang tinggi. Tapi Ummu Sulaim tidak melirik sedikitpun terhadap apa yang ditawarkan di depan kedua matanya. Baginya islam adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Ummu Sulaim r.a berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim r.a dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Ummu Sulaim r.a telah memberi kita sebuah pelajaran bahwa gemerlap dunia dengan segala kemewahannya adalah tidak lebh utama dari nilai Iman seorang hamba. Pernikahan adalah salah satu jalan bagi tersebarnya hidayah bagi mereka yang rindu akan petunjuk Allah. Kita juga mendapat pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sebuah hadits diriwayatkan dari Anas r.a menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (HR An Nasa’i)
Semoga kita dapat meneladani sifat sifat mulia yang ada pada pada diri sahabat sahabat Nabi SAW. Mereka adalah contoh nyata manusia manusia paling agung dalam sejarah. Mereka bukan agung karena assesory yang mahal, bukan pula oleh berlimpahnya dinar dan dirham tapi oleh besarnya rasa cinta dan tingginya pengorbanan mereka untuk tegaknya Islam di atas bumi ini. Wallahu’alam. Read More......
“Itu adalah sumpah Allah yang pasti benar.”
Adakah yang tidak mengenal sosok Umar bin Al Khattab r.a?. Beliau termasuk dalam sepuluh orang yang dijamin masuk syurga. Seseorang yang paling keras dalam membela Islam, tidak pernah sebuah kemungkaran pun yang berlalu didepan matanya kecuali dengan tangannya sendiri ia akan menumpasnya. Banyak sekali keutamaan seorang Umar bin Al Khattab r.a. Rasulullah pernah bersabda, “Sekiranya Allah hendak mengangkat seorang Nabi sepeninggalku maka Umar lah orangnya”. Nabi SAW juga bersabda “Telah diletakkan Al-Haq (kebenaran) di lisan dan hati pada diri Umar bin Al Khattab r.a”. Dilain waktu Rasulullah bersabda “ Apabila Abu Bakar r.a dan Umar bin Al Khattab r.a telah bersepakat dalam suatu urusan maka aku tidak akan menyelisihinya”. “Apabila Umar bin Al Khattab r.a melewati sebuah gang atau jalan dan syeitan hendak melewati jalan yang sama maka syeitan akan lari dan memilih jalan yang lain karena takut kepada Umar bin Al Khattab r.a”.
Para Sahabat apabila melihat anak anak mereka susah dinasihati atau bermain melebihi batas waktu sering menakut nakuti bahwa mereka akan memanggil Umar bin Al Khattab r.a untuk mengingatkan mereka. Beliau mendapat julukan Al Faruq yang artinya Pembeda antara Al Haq dengan Al Bathil. Tapi dibalik sifat kerasnya, jauh dilubuk hati Umar bin Al Khattab r.a terdapat hati yang sangat lembut, hati yang sangat tersentuh bila mendengar ayat ayat AlQuran dibacakan, mata yang sering menangis mengingat azab Allah. Mulut yang jauh dari makanan yang lezat. Tubuh yang jauh dari pakaian yang mahal. Meski ia seorang Khalifah tapi tidak hidup mewah dan tidak mempunyai pengawal. Baginya Allah adalah tempat meminta, memohon dan bersandar atas semua problem yang menimpanya.
Dalam sebuah riwayat dari al-Hasan disebutkan bahwa Umar bin Al Khattab r.a apabila membaca ayat-ayat Al Qur’an tentang siksa api neraka atau tentang kematian, ia sangat takut. Lalu menangis tersedu-sedu sehingga tubuhnya jatuh ke tanah. Setelah itu, ia tidak keluar rumah selama satu atau dua hari, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia sedang sakit.
Abdullah bin Syadad r.a berkata: “Aku mendengar tangisan Umar bin Al Khattab r.a yang tersedu-sedu, padahal saat aku itu berada di barisan yang paling akhir ketika shalat Shubuh. Ia saat itu membaca surat Yusuf”.
Alqamah bin Waqash al-Laitsi r.a juga berkata: “Aku pernah shalat Isya di belakang Umar bin Khattab r.a. Lalu ia membaca surat Yusuf. Ketika ia membaca ayat yang menerangkan tentang Nabi Yusuf, ia menangis tersedu-sedu sehingga suara tangisannya itu terdengar dengan jelas, padahal aku saat itu berada di barisan paling belakang.”
Suatu hari Umar bin Khattab mendengar orang yang sedang shalat Tahajud membaca surat al-Thur. Ketika orang tersebut membaca ayat: “Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorangpun yang dapat menolak” (Al-Thur: 7-8), Umar berkata: “Itu adalah sumpah Allah yang pasti benar.” Mendengar itu, ia segera bergegas menuju rumahnya, dan ia sakit selama satu bulan sehingga orang-orang menjenguknya.
Semoga Allah memberi kita taufik untuk mencintai Umar bin Al Khattab r.a. Semoga Allah memberi kita taufik untuk meneladani Umar bin Al Khattab r.a. Rasulullah SAW bersabda “ Sesungguhnya seseorang akan dibangkitkan dihari kemudian bersama orang orang yang ia cintai”. Read More......
Para Sahabat apabila melihat anak anak mereka susah dinasihati atau bermain melebihi batas waktu sering menakut nakuti bahwa mereka akan memanggil Umar bin Al Khattab r.a untuk mengingatkan mereka. Beliau mendapat julukan Al Faruq yang artinya Pembeda antara Al Haq dengan Al Bathil. Tapi dibalik sifat kerasnya, jauh dilubuk hati Umar bin Al Khattab r.a terdapat hati yang sangat lembut, hati yang sangat tersentuh bila mendengar ayat ayat AlQuran dibacakan, mata yang sering menangis mengingat azab Allah. Mulut yang jauh dari makanan yang lezat. Tubuh yang jauh dari pakaian yang mahal. Meski ia seorang Khalifah tapi tidak hidup mewah dan tidak mempunyai pengawal. Baginya Allah adalah tempat meminta, memohon dan bersandar atas semua problem yang menimpanya.
Dalam sebuah riwayat dari al-Hasan disebutkan bahwa Umar bin Al Khattab r.a apabila membaca ayat-ayat Al Qur’an tentang siksa api neraka atau tentang kematian, ia sangat takut. Lalu menangis tersedu-sedu sehingga tubuhnya jatuh ke tanah. Setelah itu, ia tidak keluar rumah selama satu atau dua hari, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia sedang sakit.
Abdullah bin Syadad r.a berkata: “Aku mendengar tangisan Umar bin Al Khattab r.a yang tersedu-sedu, padahal saat aku itu berada di barisan yang paling akhir ketika shalat Shubuh. Ia saat itu membaca surat Yusuf”.
Alqamah bin Waqash al-Laitsi r.a juga berkata: “Aku pernah shalat Isya di belakang Umar bin Khattab r.a. Lalu ia membaca surat Yusuf. Ketika ia membaca ayat yang menerangkan tentang Nabi Yusuf, ia menangis tersedu-sedu sehingga suara tangisannya itu terdengar dengan jelas, padahal aku saat itu berada di barisan paling belakang.”
Suatu hari Umar bin Khattab mendengar orang yang sedang shalat Tahajud membaca surat al-Thur. Ketika orang tersebut membaca ayat: “Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorangpun yang dapat menolak” (Al-Thur: 7-8), Umar berkata: “Itu adalah sumpah Allah yang pasti benar.” Mendengar itu, ia segera bergegas menuju rumahnya, dan ia sakit selama satu bulan sehingga orang-orang menjenguknya.
Semoga Allah memberi kita taufik untuk mencintai Umar bin Al Khattab r.a. Semoga Allah memberi kita taufik untuk meneladani Umar bin Al Khattab r.a. Rasulullah SAW bersabda “ Sesungguhnya seseorang akan dibangkitkan dihari kemudian bersama orang orang yang ia cintai”. Read More......
Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan sholat
Ali bin Abi Thalib adalah keponakan Rasulullah yang sangat beliau SAW cintai. Ali sudah mengikuti risalah Islam sejak usia dini.Dia termasuk dalam kelompok yang awal masuk islam disamping Khadijah Al Kubra dan Abu Bakar As Shiddiq r.a. Ali r.a tumbuh sebagai pemuda yang taat, cerdas, tangkas, kuat,cekatan,pemberani,dermawan dan semangat dalam memenuhi panggilan jihad.
Istri beliau Fatimah Az Zahra adalah anak kesayangan Rasulullah SAW.Banyak kisah yang sangat berharga yang dapat dipetik dari kehidupan rumah tangga yang mulia ini.Rumah tangga mereka adalah percontohan dari sebuah karakter rumah tangga yang islami, mendapat langsung tarbiyah dan tazkiyah dari Rasulullah SAW. Meski anak seorang Nabi tidak berarti Fatimah hidup diistimewakan.Rasulullah mengajarkan pada putrinya peran penting seorang wanita dalam rumah tangga terutama sebagai ibu. Fatimah Az Zahra mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan tangannya sendiri.Dia menggiling gandum dengan tangannya hingga mengeras, memasak roti dari gandum hingga terkadang membuat lepuh tangannya karena panas. Menyapu rumah dan bergelut dengan debu disetiap harinya.Sering pula dia mengerjakan itu semua sambil menggendong Hasan yang masih kecil.
Suatu hari persedian makanan dirumah mereka habis .Tidak ada gandum atau roti atau kurma yang dapat mereka makan, kecuali hanya air minum saja.Sementara Ali r.a sedang keluar dalam waktu yang cukup lama untuk suatu keperluan. Fatimah Az Zahra sedih karena tidak ada yang bisa ia suguhkan untuk menyambut kedatangan suaminya. Tiba Ali r.a datang dan mengucapkan salam dan menanyakan, “Wahai istriku apakah ada sesuatu yang bisa kita makan hari ini ?”. Fatimah r.a menjawab, “tidak ada sesuatupun yang dapat kita makan kecuali air minum saja yang tersedia”.
Ali r.a segera keluar rumah dan menuju masjid. Kemudian wudhu dan melakukan sholat sunnat,setelah salam berdoa sejenak dan pulang ke rumah. Dan bertanya kepada Fatimah Az Zahra, “Wahai istriku apakah ada sesuatu yang bisa kita makan hari ini ?”. Fatimah r.a menjawab, “tidak ada sesuatupun yang dapat kita makan kecuali air minum saja yang tersedia”.
Setelah itu Ali keluar rumah dan menuju masjid lagi. Kembali menyempurnakan wudhunya dan sholat sunnah, setelah salam berdoa sejenak dan pulang ke rumah. Dan bertanya kepada Fatimah Az Zahra, “Wahai istriku apakah ada sesuatu yang bisa kita makan hari ini ?”. Fatimah r.a menjawab, “tidak ada sesuatupun yang dapat kita makan kecuali air minum saja yang tersedia”.
Mendengar jawaban itu Ali r.a kembali keluar rumah dan menuju ke masjid. Kembali ia menyempurnakan wudhunya dan sholat sunnah, setelah salam berdoa sejenak dan pulang ke rumah. Dan bertanya kepada Fatimah Az Zahra, “Wahai istriku apakah ada sesuatu yang bisa kita makan hari ini ?”. Fatimah r.a menjawab, “Sesungguhnya gilingan gandum yang telah lama tidak terpakai itu telah berputar dan menghasilkan tepung yang bisa kita buat roti,bersyukurlah wahai suamiku karena Allah telah membuka khazanahnya didepan mata kita.”
Kemudian mereka menunggu gilingan gandum itu berputar dan terus menerus menghasilkan tepung.Semakin lama semakin banyak dan tempat menyimpan tepung sudah tidak mencukupi.Maka Ali r.a membuka penutup gilingan gandum itu, sejenak kemudian gilingan gandum itu berhenti berputar.Mereka lalu membuat roti untuk selanjutnya dimakan sebagai kebutuhan sehari hari mereka.
Subhanallah, Allah SWT telah menunjukan kuasanya atas gilingan gandum milik keluarga Imam Ali r.a. Sebuah ayat menyebutkan, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan sholat”. Dan keluarga Imam Ali r.a telah memberi kita contoh bahwasanya Allah bisa memberi rejeki dengan asbab atau tanpa asbab, bahkan terkadang bertentangan dengan asbab.Selagi manusia masih hidup maka Allah masih menjamin rejekinya. Dan sesungguhnya Allah akan menjamin kenyang perut seorang hamba bila ia memiliki tawakkal seperti seekor burung yang pergi dipagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang..wallahu’alam. Read More......
Istri beliau Fatimah Az Zahra adalah anak kesayangan Rasulullah SAW.Banyak kisah yang sangat berharga yang dapat dipetik dari kehidupan rumah tangga yang mulia ini.Rumah tangga mereka adalah percontohan dari sebuah karakter rumah tangga yang islami, mendapat langsung tarbiyah dan tazkiyah dari Rasulullah SAW. Meski anak seorang Nabi tidak berarti Fatimah hidup diistimewakan.Rasulullah mengajarkan pada putrinya peran penting seorang wanita dalam rumah tangga terutama sebagai ibu. Fatimah Az Zahra mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan tangannya sendiri.Dia menggiling gandum dengan tangannya hingga mengeras, memasak roti dari gandum hingga terkadang membuat lepuh tangannya karena panas. Menyapu rumah dan bergelut dengan debu disetiap harinya.Sering pula dia mengerjakan itu semua sambil menggendong Hasan yang masih kecil.
Suatu hari persedian makanan dirumah mereka habis .Tidak ada gandum atau roti atau kurma yang dapat mereka makan, kecuali hanya air minum saja.Sementara Ali r.a sedang keluar dalam waktu yang cukup lama untuk suatu keperluan. Fatimah Az Zahra sedih karena tidak ada yang bisa ia suguhkan untuk menyambut kedatangan suaminya. Tiba Ali r.a datang dan mengucapkan salam dan menanyakan, “Wahai istriku apakah ada sesuatu yang bisa kita makan hari ini ?”. Fatimah r.a menjawab, “tidak ada sesuatupun yang dapat kita makan kecuali air minum saja yang tersedia”.
Ali r.a segera keluar rumah dan menuju masjid. Kemudian wudhu dan melakukan sholat sunnat,setelah salam berdoa sejenak dan pulang ke rumah. Dan bertanya kepada Fatimah Az Zahra, “Wahai istriku apakah ada sesuatu yang bisa kita makan hari ini ?”. Fatimah r.a menjawab, “tidak ada sesuatupun yang dapat kita makan kecuali air minum saja yang tersedia”.
Setelah itu Ali keluar rumah dan menuju masjid lagi. Kembali menyempurnakan wudhunya dan sholat sunnah, setelah salam berdoa sejenak dan pulang ke rumah. Dan bertanya kepada Fatimah Az Zahra, “Wahai istriku apakah ada sesuatu yang bisa kita makan hari ini ?”. Fatimah r.a menjawab, “tidak ada sesuatupun yang dapat kita makan kecuali air minum saja yang tersedia”.
Mendengar jawaban itu Ali r.a kembali keluar rumah dan menuju ke masjid. Kembali ia menyempurnakan wudhunya dan sholat sunnah, setelah salam berdoa sejenak dan pulang ke rumah. Dan bertanya kepada Fatimah Az Zahra, “Wahai istriku apakah ada sesuatu yang bisa kita makan hari ini ?”. Fatimah r.a menjawab, “Sesungguhnya gilingan gandum yang telah lama tidak terpakai itu telah berputar dan menghasilkan tepung yang bisa kita buat roti,bersyukurlah wahai suamiku karena Allah telah membuka khazanahnya didepan mata kita.”
Kemudian mereka menunggu gilingan gandum itu berputar dan terus menerus menghasilkan tepung.Semakin lama semakin banyak dan tempat menyimpan tepung sudah tidak mencukupi.Maka Ali r.a membuka penutup gilingan gandum itu, sejenak kemudian gilingan gandum itu berhenti berputar.Mereka lalu membuat roti untuk selanjutnya dimakan sebagai kebutuhan sehari hari mereka.
Subhanallah, Allah SWT telah menunjukan kuasanya atas gilingan gandum milik keluarga Imam Ali r.a. Sebuah ayat menyebutkan, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan sholat”. Dan keluarga Imam Ali r.a telah memberi kita contoh bahwasanya Allah bisa memberi rejeki dengan asbab atau tanpa asbab, bahkan terkadang bertentangan dengan asbab.Selagi manusia masih hidup maka Allah masih menjamin rejekinya. Dan sesungguhnya Allah akan menjamin kenyang perut seorang hamba bila ia memiliki tawakkal seperti seekor burung yang pergi dipagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang..wallahu’alam. Read More......
Ketegaran seorang Wanita
Ketegaran dan ketabahan terpancar dari langkah kakinya di pasir berdebu nan panas. Pakaiannya kotor oleh pasir dan cipratan darah di gurun itu. Matanya meneteskan butiran air yang hangat dan dibiarkannya hal itu. Langkah kakinya berjalan dengan pelan pelan dan sangat hati hati karena puluhan jasad tak bernyawa kini telah mengelilinginya. Tiba kini sudut matanya menangkap sesosok jasad tergeletak. Jasad itu bertubuh besar dan tubuhnya dipenuhi dengan luka yang tak wajar. Hidungnya terpotong, telinganya hilang dan dadanya terkoyak dengan sayatan lebar dengan jantung sudah hilang dari tangkainya. Innalillahi wainnailaihi ra’jiun. Jenazah yang syahid itu adalah Paman Rasulullah Hamzah bin Abdul Muttalib. Dan wanita yang kini ada disampingnya adalah saudaranya, Shafiyah binti Abdul Muttalib r.a
Shafiyah binti Abdul Muttalib, ibu sahabat Zubair bin Awaam, beliau menikah pertama kali dengan Al Haarits bin Harb, lalu ditinggal mati dan menikah lagi dengan Al ‘Awam dan melahirkan Zubair. Beliau masuk islam dan ikut berhijrah. Beliau wafat tahun 20 H di Madinah dan dimakamkan di Baqi’
Kembali ke medan Uhud….Hamzah r.a telah syahid di medan Uhud akibat tombak seorang budak bernama Wahsyi. Dia di bunuh dengan cara yang licik.
Shafiyah mendengar berita kematian saudaranya ini. Maka dia pun datang ke medan pertempuran mencarinya. Rasul SAW melihat dan mengetahui bahwa bibinya akan menghadapi situasi yang sulit bila melihat Hamzah dalam keadaan itu. Maka beliau berkata kepada puteranya, Zubair bin Awwam:”Datangi ibumu dan suruh agar dia kembali supaya tidak menyaksikan keadaan saudaranya itu.” Kemudian Zubair pergi dan berkata kepadanya dengan suara tenang namun sedih :”Wahai, Ibuku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruhmu kembali.”
Shafiyah menjawab dengan penuh sabar “Mengapa aku harus kembali? Aku telah mendengar bahwa saudaraku itu telah dibunuh dengan cara yang keji dan hal itu demi Allah. Maka kami ridho atas kejadian itu dan aku akan bersabar dengan baik dan akan mengharap pahala, insyaAllah.” Zubair kembali menghadap Rasulullah SAW tentang kesabaran dan ketabahan yang ditunjukkan Shafiyah, dan dia sampaikan perkataan ibunya itu kepada Nabi SAW. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :”Biarkan dia pergi.”
Shafiyah bersikap tabah dan teguh. Dia memandang Hamzah r.a Singa Allah dengan pandangan perpisahan seraya berkata :”Semoga Allah melimpahkan pahalakepadamu dan mengampuni dosamu. Kita adalah kaum yang terbiasa mengalami pembunuhan dan mati syahid. Tiada daya dan kekuatan, melainkan dengan pertolongan Allah. Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Cukuplah Allah sebagai pelindungku dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung. Semoga Allah mengampuni dosamu dan dosaku serta membalasmu dengan balasan bagi hamba-hamba-Nya yang mukhlis.”
Perang Uhud adalah ujian dan pembersihan. Dengannya Allah menguji kaum mukminin dan membongkar kedok orang-orang munafik yang menampakkan keimanan dengan lisan namun menyembunyikan kekafiran di hati mereka. Dan hari dimana Allah Ta’ala memuliakan para wali-Nya yang Dia kehendaki gugur sebagai syuhada’ Read More......
Shafiyah binti Abdul Muttalib, ibu sahabat Zubair bin Awaam, beliau menikah pertama kali dengan Al Haarits bin Harb, lalu ditinggal mati dan menikah lagi dengan Al ‘Awam dan melahirkan Zubair. Beliau masuk islam dan ikut berhijrah. Beliau wafat tahun 20 H di Madinah dan dimakamkan di Baqi’
Kembali ke medan Uhud….Hamzah r.a telah syahid di medan Uhud akibat tombak seorang budak bernama Wahsyi. Dia di bunuh dengan cara yang licik.
Shafiyah mendengar berita kematian saudaranya ini. Maka dia pun datang ke medan pertempuran mencarinya. Rasul SAW melihat dan mengetahui bahwa bibinya akan menghadapi situasi yang sulit bila melihat Hamzah dalam keadaan itu. Maka beliau berkata kepada puteranya, Zubair bin Awwam:”Datangi ibumu dan suruh agar dia kembali supaya tidak menyaksikan keadaan saudaranya itu.” Kemudian Zubair pergi dan berkata kepadanya dengan suara tenang namun sedih :”Wahai, Ibuku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruhmu kembali.”
Shafiyah menjawab dengan penuh sabar “Mengapa aku harus kembali? Aku telah mendengar bahwa saudaraku itu telah dibunuh dengan cara yang keji dan hal itu demi Allah. Maka kami ridho atas kejadian itu dan aku akan bersabar dengan baik dan akan mengharap pahala, insyaAllah.” Zubair kembali menghadap Rasulullah SAW tentang kesabaran dan ketabahan yang ditunjukkan Shafiyah, dan dia sampaikan perkataan ibunya itu kepada Nabi SAW. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :”Biarkan dia pergi.”
Shafiyah bersikap tabah dan teguh. Dia memandang Hamzah r.a Singa Allah dengan pandangan perpisahan seraya berkata :”Semoga Allah melimpahkan pahalakepadamu dan mengampuni dosamu. Kita adalah kaum yang terbiasa mengalami pembunuhan dan mati syahid. Tiada daya dan kekuatan, melainkan dengan pertolongan Allah. Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Cukuplah Allah sebagai pelindungku dan Dia-lah sebaik-baik Pelindung. Semoga Allah mengampuni dosamu dan dosaku serta membalasmu dengan balasan bagi hamba-hamba-Nya yang mukhlis.”
Perang Uhud adalah ujian dan pembersihan. Dengannya Allah menguji kaum mukminin dan membongkar kedok orang-orang munafik yang menampakkan keimanan dengan lisan namun menyembunyikan kekafiran di hati mereka. Dan hari dimana Allah Ta’ala memuliakan para wali-Nya yang Dia kehendaki gugur sebagai syuhada’ Read More......
Saat Maaf yang berbicara
Siang itu Khalifah Umar bin Khattab r.a dan para sahabatnya sedang duduk duduk membuat majelis. Mereka bergiliran menyampaikan perkara tentang permasalahan umat dan mencari solusi bersama. Tak ada sekat sedikitpun antara Khalifah Umar r.a dengan para sahabatanya. Tak ada protokoler kenegaraan, tak ada pengawal Khalifah dan tempat duduk mereka sama rata satu dengan yang lainnya. Selang beberapa saat kemudian ada tiga pemuda yang berpenampilan menarik dan tampan memasuki majelisnya. Setelah mengucap salam seorang diantara mereka berkata,” Kami berdua adalah bersaudara. Saat ayah kami sedang sibuk dengan pekerjaanya, dia dibunuh oleh pemuda ini, yang sekarang kami bawa kepada Amirul Mukminin untuk diadili. Hukumlah dia sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah.” Sejenak Khalifah Umar r.a mengamati orang yang ketiga dan memintanya untuk berbicara.
Pemuda yang tertuduh berkata“Kejadian berlangsung tanpa seorangpun yang tahu, tapi Allah Maha Tahu atas segala sesuatu dan yang dikatakan orang ini adalah benar, saya yang bersalah atas kejadian ini dan saya menyesal atas peristiwa naas ini. Aku ini bersasal dari dusun yang jauh dari kota Madinah. Aku datang ke sini untuk berziarah ke makam Rasullulah saw. Di pinggir kota, aku turun dari kudaku untuk berwudhu. Tanpa sepengetahuanku kuda yang aku bawa memakan ranting ranting pohon kurma yang melintangi tembok sebuah rumah. Segera aku tarik kudaku agar berhenti memakan ranting pohon kurma itu. Pada saat itu juga, seorang laki-laki tua yang sedang marah mendekatiku dengan membawa sebuah batu yang besar. Dia melemparkan batu ke kepala kudaku, dan kudaku langsung mati. aku sangat menyayangi kuda itu, aku kehilangan kendali diri. Aku mengambil batu itu dan melemparkannya kembali ke orang tersebut. Dia roboh dan meninggal. Jika aku ingin melarikan diri, aku dapat saja melakukannya, tetapi kemana? Jika aku tidak mendapatkan hukuman di dunia ini, aku pasti akan mendapatkan hukuman yang abadi di akhirat nanti. Aku tidak bermaksud membunuh orang itu, tetapi kenyataannya dia mati di tanganku. Sekarang Amirul Mukmini yang berhak mengadili aku.”
Setelah menyimak pembicaraan yang berlangsung Khalifah Umar r.a berkata, “Engkau telah melakukan pembunuhan. Menurut kitabullah engkau harus menerima hukuman yang setimpal dengan apa yang telah kau lakukan. Dan qishos adalah hukuman yang akan kamu terima.” Pemuda tertuduh itu berkata, “Kalau begitu, laksanakanlah hukuman itu. Tapi aku adalah pemegang amanah harta dari anak yatim dan akan aku serahkan bila mereka sudah dewasa. Aku menyimpan harta itu ditempat yang sangat aman dan hanya aku seorang yang tahu. Maka ijinkan aku mengurusi tanggunganku ini biar tidak ada lagi beban yang aku bawa ke akhirat kelak. Aku meminta ijin tiga hari.
Khalifa Umar r.a menjawab, “ Permintaanmu akan dipenuhi bila ada orang yang bersedia menggantikanmu dan menjadi jaminan untuk nyawamu”. Pemuda itu berkata, “ Sesungguhnya aku bisa saja melarikan diri dan menghindari hukuman ini tapi hatiku dipenuhi rasa takut kepada Allah , yakinlah bahwa aku akan kembali.” Khalifah Umar r.a menolak permohonan itu atas dasar hukum Kitabullah.
Pemuda itupun memandang kesegenap hadirin yang menghadiri majelis itu, wajah wajah para sahabat yang mulia dan penuh taqwa dan akhirnya ia memilih secara acak. Kemudian ia menunjuk Abu Dzar Al Ghifari r.a dan berkata, “Orang ini yang akan menjadi jaminanku”. Orang orang cukup terkaget dengan penunjukan itu. Abu Dzar Al Ghifari adalah sahabat terdekat Rasulullah SAW, seorang yang shaleh, taqwa, wara dan zuhud. Beliau disegani oleh penduduk Madinah dan sering menjadi inspirasi bagi orang banyak. Tanpa keraguan sedikit pun, Abu Dzar setuju untuk menggantikan pemuda itu.
Si tertuduh pun dibebaskan untuk sementara waktu. Pada hari ketiga, kedua penggugat itu kembali ke sidang Khalifah. Abu Dzar ada di sana, tetapi tertuduh itu tidak ada. Kedua penuduh itu berkata: “Wahai Abu Dzar, anda bersedia menjadi jaminan bagi seseorang yang tidak anda kenal. Seandainya dia tidak kembali, kami tidak akan pergi tanpa menerima pengganti darah ayah kami.”
Khalifah Umar r.a berkata: “Sungguh, bila pemuda itu tidak kembali, kita harus melaksanakan hukuman itu kepada Abu Dzar.” Mendengar kata-kata tersebut, setiap orang yang hadir di sana mulai menangis, karena Abu Dzar, orang yang berakhlak sempurna dan bertingkah laku sangat terpuji, merupakan cahaya dan inpirasi bagi semua penduduk Madinah.
Ketika hari ketiga itu mulai berakhir, kegemparan, kesedihan dan kekaguman orang-orang mencapai puncaknya. Tiba-tiba pemuda itu muncul. Dia datang dengan berlari dan dalam keadaan penat, berdebu dan berkeringat lalu berkata. “Aku mohon maaf karena telah membuat Anda khawatir, Maafkan aku karena baru tiba pada menit terakhir. Terlalu banyak yang harus aku kerjakan. Padang pasir sangatlah panas dan perjakanan ini teramat panjang. Sekarang aku telah siap, laksanakanlah hukumanku.”
Kemudian dia berpaling kepada kerumunan massa dan berkata, “Orang yang beriman selalu menepati ucapannya. Orang yang tidak dapat menepati kata-katanya sendiri adalah orang munafik. Siapakah yang dapat melarikan diri dari kematian, yang pasti akan datang cepat atau lambat? Apakah saudara-saudara berpikir bahwa aku akan menghilang dan membuat orang-orang berkata, Orang-orang Islam tidak lagi menepati ucapannya sendiri?”
Kerumunan massa itu kemudian berpaking kepada Abu Dzar r.a dan bertanya apakah ia sudah mengetahui sifat yang terpuji dari pemuda tersebut. Abu Dzar menjawa, “Tidak, sama sekali. Tetapi, saya tidak merasa mampu untuk menolaknya ketika dia memilih saya, karena hal itu sesuai dengan asas-asas kemuliaan. Haruskah saya menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tak ada lagi perasaan haru dan kasih sayang yang tersisa dalam Islam?”
Hati dan perasaan kedua penuduh itu tersentuh dan bergetar. Mereka lalu menarik tuduhannya, seraya berkata, “Apakah kami harus menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tiada lagi rasa belas kasihan di dalam Islam”
Akhirnya hukuma qishos tidak jadi dilaksanakan karena pihak penggugat sudah memberikan maafnya. Begitulah sikap orang orang generasi awal umat ini. Mereka sangat takut kepada Allah dan lebih memilih kesusahan didunia ini dari pada nanti susah diakhirat. Kekuatan ucapan dari seorang Abu Dzar Al Ghifari r.a muncul dari kesempurnaan iman dan taqwanya yang mendalam. Ia mengingatkan kembali kita bahwa Islam selalu mengedepankan kasih sayang seperti yang diajarkan oleh kekasihnya Rasulullah SAW..semoga kita bisa mengambil ibroh dari kisah ini. Read More......
Pemuda yang tertuduh berkata“Kejadian berlangsung tanpa seorangpun yang tahu, tapi Allah Maha Tahu atas segala sesuatu dan yang dikatakan orang ini adalah benar, saya yang bersalah atas kejadian ini dan saya menyesal atas peristiwa naas ini. Aku ini bersasal dari dusun yang jauh dari kota Madinah. Aku datang ke sini untuk berziarah ke makam Rasullulah saw. Di pinggir kota, aku turun dari kudaku untuk berwudhu. Tanpa sepengetahuanku kuda yang aku bawa memakan ranting ranting pohon kurma yang melintangi tembok sebuah rumah. Segera aku tarik kudaku agar berhenti memakan ranting pohon kurma itu. Pada saat itu juga, seorang laki-laki tua yang sedang marah mendekatiku dengan membawa sebuah batu yang besar. Dia melemparkan batu ke kepala kudaku, dan kudaku langsung mati. aku sangat menyayangi kuda itu, aku kehilangan kendali diri. Aku mengambil batu itu dan melemparkannya kembali ke orang tersebut. Dia roboh dan meninggal. Jika aku ingin melarikan diri, aku dapat saja melakukannya, tetapi kemana? Jika aku tidak mendapatkan hukuman di dunia ini, aku pasti akan mendapatkan hukuman yang abadi di akhirat nanti. Aku tidak bermaksud membunuh orang itu, tetapi kenyataannya dia mati di tanganku. Sekarang Amirul Mukmini yang berhak mengadili aku.”
Setelah menyimak pembicaraan yang berlangsung Khalifah Umar r.a berkata, “Engkau telah melakukan pembunuhan. Menurut kitabullah engkau harus menerima hukuman yang setimpal dengan apa yang telah kau lakukan. Dan qishos adalah hukuman yang akan kamu terima.” Pemuda tertuduh itu berkata, “Kalau begitu, laksanakanlah hukuman itu. Tapi aku adalah pemegang amanah harta dari anak yatim dan akan aku serahkan bila mereka sudah dewasa. Aku menyimpan harta itu ditempat yang sangat aman dan hanya aku seorang yang tahu. Maka ijinkan aku mengurusi tanggunganku ini biar tidak ada lagi beban yang aku bawa ke akhirat kelak. Aku meminta ijin tiga hari.
Khalifa Umar r.a menjawab, “ Permintaanmu akan dipenuhi bila ada orang yang bersedia menggantikanmu dan menjadi jaminan untuk nyawamu”. Pemuda itu berkata, “ Sesungguhnya aku bisa saja melarikan diri dan menghindari hukuman ini tapi hatiku dipenuhi rasa takut kepada Allah , yakinlah bahwa aku akan kembali.” Khalifah Umar r.a menolak permohonan itu atas dasar hukum Kitabullah.
Pemuda itupun memandang kesegenap hadirin yang menghadiri majelis itu, wajah wajah para sahabat yang mulia dan penuh taqwa dan akhirnya ia memilih secara acak. Kemudian ia menunjuk Abu Dzar Al Ghifari r.a dan berkata, “Orang ini yang akan menjadi jaminanku”. Orang orang cukup terkaget dengan penunjukan itu. Abu Dzar Al Ghifari adalah sahabat terdekat Rasulullah SAW, seorang yang shaleh, taqwa, wara dan zuhud. Beliau disegani oleh penduduk Madinah dan sering menjadi inspirasi bagi orang banyak. Tanpa keraguan sedikit pun, Abu Dzar setuju untuk menggantikan pemuda itu.
Si tertuduh pun dibebaskan untuk sementara waktu. Pada hari ketiga, kedua penggugat itu kembali ke sidang Khalifah. Abu Dzar ada di sana, tetapi tertuduh itu tidak ada. Kedua penuduh itu berkata: “Wahai Abu Dzar, anda bersedia menjadi jaminan bagi seseorang yang tidak anda kenal. Seandainya dia tidak kembali, kami tidak akan pergi tanpa menerima pengganti darah ayah kami.”
Khalifah Umar r.a berkata: “Sungguh, bila pemuda itu tidak kembali, kita harus melaksanakan hukuman itu kepada Abu Dzar.” Mendengar kata-kata tersebut, setiap orang yang hadir di sana mulai menangis, karena Abu Dzar, orang yang berakhlak sempurna dan bertingkah laku sangat terpuji, merupakan cahaya dan inpirasi bagi semua penduduk Madinah.
Ketika hari ketiga itu mulai berakhir, kegemparan, kesedihan dan kekaguman orang-orang mencapai puncaknya. Tiba-tiba pemuda itu muncul. Dia datang dengan berlari dan dalam keadaan penat, berdebu dan berkeringat lalu berkata. “Aku mohon maaf karena telah membuat Anda khawatir, Maafkan aku karena baru tiba pada menit terakhir. Terlalu banyak yang harus aku kerjakan. Padang pasir sangatlah panas dan perjakanan ini teramat panjang. Sekarang aku telah siap, laksanakanlah hukumanku.”
Kemudian dia berpaling kepada kerumunan massa dan berkata, “Orang yang beriman selalu menepati ucapannya. Orang yang tidak dapat menepati kata-katanya sendiri adalah orang munafik. Siapakah yang dapat melarikan diri dari kematian, yang pasti akan datang cepat atau lambat? Apakah saudara-saudara berpikir bahwa aku akan menghilang dan membuat orang-orang berkata, Orang-orang Islam tidak lagi menepati ucapannya sendiri?”
Kerumunan massa itu kemudian berpaking kepada Abu Dzar r.a dan bertanya apakah ia sudah mengetahui sifat yang terpuji dari pemuda tersebut. Abu Dzar menjawa, “Tidak, sama sekali. Tetapi, saya tidak merasa mampu untuk menolaknya ketika dia memilih saya, karena hal itu sesuai dengan asas-asas kemuliaan. Haruskah saya menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tak ada lagi perasaan haru dan kasih sayang yang tersisa dalam Islam?”
Hati dan perasaan kedua penuduh itu tersentuh dan bergetar. Mereka lalu menarik tuduhannya, seraya berkata, “Apakah kami harus menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tiada lagi rasa belas kasihan di dalam Islam”
Akhirnya hukuma qishos tidak jadi dilaksanakan karena pihak penggugat sudah memberikan maafnya. Begitulah sikap orang orang generasi awal umat ini. Mereka sangat takut kepada Allah dan lebih memilih kesusahan didunia ini dari pada nanti susah diakhirat. Kekuatan ucapan dari seorang Abu Dzar Al Ghifari r.a muncul dari kesempurnaan iman dan taqwanya yang mendalam. Ia mengingatkan kembali kita bahwa Islam selalu mengedepankan kasih sayang seperti yang diajarkan oleh kekasihnya Rasulullah SAW..semoga kita bisa mengambil ibroh dari kisah ini. Read More......
Langganan:
Postingan (Atom)