Konflik yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib r.a dan Muawiyah r.a adalah bagian dari catatan kelam sejarah Islam. Dua kelompok yang berbeda ijtihad ini saling angkat senjata dan menghunus pedang. Ratusan korban nyawa dari kedua belah pihak menjadi goresan tinta hitam mengenai pihak pihak yang menuntut haknya. Peristiwa berdarah yang terkenal dalam perang Shiffin telah memberi kita pelajaran agar kita senantiasa berhati hati dalam bertindak. Sesungguhnya persatuan umat adalah diatas segalanya. Meski begitu bukan berarti kita boleh menjelek jelekan mereka yang sedang bertikai. Mereka adalah sahabat sahabat Rasulullah SAW yang mulia. Imam Ali bin Abi Thalib r.a ibarat Harun disisi Musa oleh Rasulullah SAW. Dialah yang menjadi tameng saat Rasulullah hendak dibunuh beramai ramai oleh satuan elit pembunuh kaum Quraisy. Dia pulalah yang menjadi suami dari anak Rasulullah SAW yang tercinta yaitu Fatimah Az Zahra. Dan Ali bin Abi Thalib termasuk keluarga ahlul bait yang oleh Allah telah dinyatakan dalam Al Quran bahwa ahlul bait telah disucikan sesuci sucinya dari kesalahan dan telah diampuni dosanya. Sedangkan Muawiyah r.a juga sahabat Nabi SAW yang mulia yang pernah ditunjuk sebagai tim pencatat wahyu oleh Rasulullah disamping nama Ali bin Abi Thalib juga masuk didalamnya.
Perbedaan diantara mereka adalah soal ijtihad. Bila Imam Ali berijtihad bahwa persatuan islam dan konsolidasi daerah daerah kekuasaan islam bagian luar adalah bagian utama dan pertama dari masa masa awal kepemimpinannya. Sedangkan Muawiyah r.a menghendaki agar tersangka pembunuh Khalifah Utsman bin Affan r.a terlebih dulu di adili dan diberi hukuman segera. Perbedaan inilah yang akhirnya tak menemukan ujung titik temu. Memang mereka bukan manusia yang ma’shum atau terbebas dari dosa dan kesalahan, tapi mereka adalah sahabat sahabat Rasulullah SAW yang mulia, pernah hidup dan berjumpa dengan Rasulullah, pernah berjuang berjihad bersama Rasulullah, pernah duduk satu majelis dengan Rasulullah. Itulah keutamaan keutamaan yang tidak akan kita dapatkan selain menjadi sahabat Rasulullah SAW.
Dalam menyikapi masalah perbedaan ijtihad yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib r.a dan Muawiyah r.a dan sikap kita dalam menilai mereka dapat kita nukil kembali jawaban dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah ketika ia ditanya tentang sipakah yang benar dan siapakah yang salah dalam konflik berdarah tersebut. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dengan tenang menjawab “ Sesungguhnya Allah telah mensucikan mereka dari tangan tangan kita maka janganlah kalian mengotori mereka dengan lisan lisan kalian”. Inilah jawaban yang telah menjadi rujukan ulama ulama arif billah hingga saat ini, yaitu agar kita tidak berbicara yang kotor tentang mereka karena Rasulullah SAW pernah mengingatkan umatnya agar jangan sekali sekali mencela sahabat sahabatnya, karena ditakutkan nanti akan timbul sifat munafik pada diri orang tersebut. Bahkan amal yang kita lakukan setinggi dan sehebat apapun tidak akan pernah mampu mengungguli amal mereka. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda “Sesungguhnya infak fisabilillah yang dikeluarkan oleh sahabat sahabatku meski hanya segenggam jauh lebih utama dari pada infak fisabilillah yang dikeluarkan oleh umat akhir zaman meski mereka menggeluarkan infak emas sebesar gunung Uhud”.
Ulama Tabi’in tersohor Imam Hasan Al Bashri pernah ditanya seseorang, “Siapakah yang lebih mulia, apakah Muawiyah r.a atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz ?”. maka Imam Hasan Al Bashri rahimahullah menjawab “Sehelai bulu mata dari Muawiyah r.a jauh lebih utama dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz “ atau seorang ulama dari kota Bashrah lainnya pernah juga ditanya dengan hal yang sama, maka ia menjawab “Sesungguhnya debu kotoran yang menempel dihidung kudanya Muawiyah sewaktu sedang berjihad bersama Rasulullah SAW adalah lebih utama dari Umar bin Abdul Aziz”.
Inilah jawaban dari ulama salafus shalih tentang persoalan yang terjadi antara Imam Ali bin Abi Thalib r.a dan Muawiyah r.a. para ulama itu telah memberi kita contoh teladan dalam memuliakan para sahabat karena memang demikianlah kedudukan mereka. Semoga kita tak terjerumus dalam kotor dan nistanya lisan apabila sedang berbicara tentang mereka. Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar