Pribadi para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memang sangat mengesankan. Keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melandasi segalanya. Bahkan di saat-saat yang begitu mudah untuk melampiaskan dendam, ternyata itu pun tak dilakukannya. Seorang wanita yang saat itu masih musyrik menyaksikan kemuliaan pribadi seorang Khubaib bin ‘Adi yang ditawan di rumahnya. Dia tuturkan ketika dia telah menjadi seorang muslimah. Wanita itu bernama Mariyah.
Tahun keempat hijriyah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan pasukan mata-mata untuk mencari berita tentang orang-orang musyrikin Quraisy. Mereka adalah para penghafal Al-Qur’an. Ternyata kabar tentang pasukan ini tercium oleh Bani Lihyan.
Bani Lihyan segera mengejar hingga berhasil mengepung para sahabat di tempat yang tinggi. Bani Lihyan mengatakan akan menjamin tidak akan membunuh mereka jika mereka mau turun. Namun pasukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menolak. Kedua kubu pun bertempur hingga tinggallah tiga orang sahabat, Khubaib bin ‘Adi, Zaid bin Ad-Datsinah, dan seorang lagi. Yang terakhir ini pun akhirnya terbunuh.
Bani Lihyan membawa Khubaib dan Zaid ke Makkah lalu menjual mereka berdua. Khubaib dibeli oleh Bani Al-Harits. Mereka membeli Khubaib untuk menuntaskan dendam mereka karena Khubaiblah yang membunuh Al-Harits bin ‘Amir, ayah mereka, dalam perang Badr.
Namun saat itu adalah bulan haram. Dilarang menumpahkan darah di bulan-bulan haram. Karena itu, untuk sementara waktu mereka menawan Khubaib bin ‘Adi dalam ruangan yang terkunci di rumah Mariyah, budak Hujair bin Abi Ihab At-Tamimi.
Dalam tawanan, Khubaib biasa menunaikan tahajjud dengan membaca surah-surah Al-Qur’an. Bila para wanita mendengar bacaannya, mereka menangis dan luluh hatinya.
Mariyah pernah mengintip dari celah-celah pintu. Dia terperanjat. Khubaib sedang memegang setandan buah anggur, sementara saat itu bukan musim anggur. Tak ada sebiji anggur pun di Makkah waktu itu. Mariyah tersadar, itu semua rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Suatu ketika Mariyah bertanya pada Khubaib, “Wahai Khubaib, apakah engkau membutuhkan sesuatu?” “Tidak!” jawab Khubaib, “Hanya saja kuminta kepadamu tiga hal, jangan kau beri aku minum kecuali air dingin saja, jangan kau beri aku makanan dari sesuatu yang disembelih untuk berhala, dan kau beritahukan aku jika tiba saatnya mereka hendak membunuhku.” Mariyah menyanggupi.
Bulan-bulan haram pun berlalu. Dekat sudah waktu yang mereka sepakati untuk membunuh Khubaib. Sesuai janjinya, Mariyah memberitahukan hal itu kepada Khubaib. Mendengar kabar itu, Khubaib tak sedikit pun terlihat gentar.
“Maukah kau pinjamkan padaku pisau, agar aku bisa membersihkan diri?” pinta Khubaib pada Mariyah. Mariyah memenuhi permintaannya. Dia menyuruh anak susuannya, Abu Husain, untuk menyerahkan pisau itu kepada sang tawanan. Abu Husain pun menurut.
Setelah anak kecil itu hilang dari pandangan matanya, Mariyah tertegun. “Apa yang baru saja kulakukan?” ujarnya dalam hati. “Aku menyuruh anakku membawa pisau itu kepadanya. Dia bisa dengan mudah membunuh anakku dengan pisau itu, lalu beralasan seorang balas seorang!”
Mariyah bergegas menyusul.
Sementara itu, si anak masuk menemui Khubaib sambil menyerahkan sebilah pisau yang dibawanya. Khubaib mengangkat anak itu dan mendudukkan di pangkuannya. Terdengar kelakar Khubaib, “Demi ayahku! Apa ibumu tidak khawatir aku akan membalas dendam dengan membiarkanmu datang membawa pisau, sementara mereka ingin membunuhku?”
Mariyah mendengar ucapan itu. “Wahai Khubaib, aku percaya kepadamu dengan keamanan dari Allah. Aku berikan pisau itu bukan untuk membunuh anakku!”
“Aku tidak akan membunuhnya,” jawab Khubaib, “Dan tidak halal dalam agama kami membalas dendam.”
Tenanglah Mariyah. Lalu Mariyah memberitahu Khubaib bahwa orang-orang akan mengeluarkannya dari tawanan besok untuk membunuhnya.
Keesokan harinya, Khubaib dikeluarkan dari tawanan dalam keadaan dirantai. Dia dibawa ke Tan’im, sekitar tiga mil dari Makkah ke arah Madinah. Di sana telah dipancangkan tonggak kayu untuk membunuhnya.
Sampai di sana, Khubaib meminta, “Maukah kalian melepaskan aku sebentar agar aku bisa shalat dua rakaat?” Mereka meluluskan permintaannya. Khubaib pun shalat dua rakaat dengan menyempurnakan shalatnya tanpa memperpanjangnya. Setelah itu, orang-orang itu pun membunuhnya.
Di kemudian hari, Mariyah masuk Islam. Dia selalu mengenang peristiwa ini. Dialah yang menuturkan kemuliaan Khubaib selama berada dalam tawanan. Mariyah maulah Hujair, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar